Bisnis.com, JAKARTA - Efek pandemi Covid-19 yang mendorong kebiasaan baru masyarakat semakin lekat dengan proses serba digital atau 'serba online', harus cepat dimanfaatkan oleh para pemain industri pembiayaan (multifinance).
Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI) Suwandi Wiratno menjelaskan hal ini menjadi salah satu alasan beberapa pemain industri multifinance berani menggelontorkan belanja modal besar berkaitan transformasi digital.
"Beberapa terlihat mulai menyadari kebutuhan ini ketika pandemi, ada juga yang sudah mempersiapkan sebelum pandemi karena arahnya ke sana [online]. Apalagi sejak ada pembatasan sosial, mau tidak mau kanal digital harus ada. Daripada bisnis tidak bergerak, menggelar event atau pameran pun susah, dan kalau tidak ada inovasi, nanti ketinggalan dari yang lain," ujarnya kepada Bisnis, Senin (5/7/2021).
Suwandi menjelaskan strategi transformasi digital yang diprioritaskan pemain multifinance biasanya berkaitan dengan digitalisasi proses, karena akan memiliki efek positif jangka panjang terhadap efisiensi beban operasional. Misalnya, dalam hal sentralisasi proses dan persetujuan kredit secara online, tanda-tangan digital, sampai hubungan dengan costumer dan mitra.
"Sekarang ini era-nya kondisi work from home, serba jarak jauh, dokumen digital, komunikasi online, juga berhubungan juga dengan otomasi dan big data. Jadi digitalisasi proses penting sekali, karena kalau masih manual, pasti susah bergerak," tambahnya.
Sementara itu, multifinance yang sudah berani mengakomodasi akses pengajuan pembiayaan secara full digital, biasanya baru digelar oleh perusahaan besar, mereka yang berani menggelontorkan dana investasi besar di awal, atau sudah memiliki platform yang telah siap dan teruji.
Baca Juga
Pasalnya, menurut Suwandi, mitigasi risiko ketika memberikan layanan full digital kepada harus lebih kuat, terutama untuk konsumen baru. Karena proses collection multifinance mustahil hanya dilakukan secara digital, karena berhubungan dengan aset fisik.
"Perusahaan yang berani memberikan layanan pengajuan kredit lewat mobile apps atau website, saya yakin lebih memprioritaskan nasabah existing dan punya rekam jejak. Karena collection kita bukan cuma seperti fintech [lending], kita harus pastikan barangnya masih ada atau tidak," jelasnya.
Adapun, Pengamat Otomotif Bebin Djuana sepakat bahwa masyarakat sebenarnya telah siap menghadapi proses jual-beli dan pengajuan kredit kendaraan secara digital, terutama untuk kendaraan baru. Sementara untuk kendaraan bekas, memang tak bisa dipungkiri 'cek fisik' kondisi barang masih harus dilakukan secara tatap muka. Namun, adaptasi prosesnya yang secara digital, paperless, dan online, pun tak mustahil digelar.
"Urusan leasing dan asuransi rasanya bisa dilakukan online asal sudah siap platform-nya. Tinggal pintar-pintar penjual atau dealer dengan lembaga keuangan bekerja sama," ungkapnya kepada Bisnis.
Apalagi, Bebin menilai leasing yang punya hubungan dengan perbankan pasti tak akan kesulitan memitigasi risiko, menilik berapa besar pinjaman yang dapat diberikan dan berapa kemampuan menyicil nasabah mudah diperkirakan.
"Bagi konsumen pun menguntungkan, karena bunga pembiayaan bersama bank yang dikenakan pasti lebih rendah ketimbang langsung pembiayaan leasing. Jadi untuk proses serba online itu tidak perlu diragukan lah, kemampuan masyarakat kita," tambahnya.
Menurut Bebin, di tengah kondisi lonjakan kasus Covid-19 dan pembatasan sosial, inovasi digital dari leasing & dealer menjadi kunci bangkitnya penjualan otomotif, menilik momentum pemberlakuan subsidi pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) belum habis.