Bisnis.com, JAKARTA - Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membatalkan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial terkait pengalihan program layanan PT Asabri (Persero) dan PT Taspen (Persero) ke BPJS Ketenagakerjaan paling lambat 2029, dinilai kurang tepat.
Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar tidak sepakat dengan pertimbangan hukum hakim MK yang menyebutkan bahwa penyelenggara jaminan sosial sebaiknya lembaga majemuk sesuai dengan karakteristik masing-masing pekerja yang diproteksi. Pelaksanaan jaminan sosial seharusnya tidak boleh diskriminatif.
Pertimbangan hukum itu dinilai membuat prinsip gotong royong menjadi tidak terpenuhi sehingga berpotensi mengancam keberlanjutan program jaminan sosial. Teori hukum bilangan besar, kata Timboel, seharusnya menjadi acuan bagi pelaksanaan asuransi termasuk jaminan sosial yang merupakan asuransi sosial. Semakin banyak peserta semakin banyak pendapatan iuran sehingga aspek gotong royong semakin nyata dan ini akan mampu membiayai klaim yang terjadi.
"Sebagai contoh riil adalah program jaminan kematian bagi PNS diselenggarakan oleh Taspen sejak 1 juli 2015. Tetapi karena peserta PNS-nya hanya 6 juta orang, maka ketika berlangsung selama 2 tahun, program jaminan kematian ini mengalami masalah pembiayaan klaim sehingga Taspen meminta kenaikan iuran jaminan kematian dari awalnya 0,3 persen menjadi 0,72 persen dari upah," ujar Timboel ketika dihubungi Bisnis, Senin (4/10/2021).
Kalau saja jaminan kematian ini diserahkan ke BPJS Ketenagakerjaan, maka dengan peserta aktif 29 juta akan mampu semua peserta bergotong royong membiayai peserta PNS yang meninggal. Kenaikan iuran jaminan kematian di Taspen tersebut pun membebani APBN.
Selain itu, menurutnya, pengelola jaminan sosial memang seharusnya dikelola oleh lembaga yang diamanatkan oleh undang-undang (UU), sementara pijakan hukum Asabri dan Taspen masih berdasar Peraturan Pemerintah (PP).
Baca Juga
"Dalam pertimbangan hukum MK menyebutkan penyelenggara jaminan sosial itu tidak harus dilebur, tapi disesuaikan badan hukum perseronya, sehingga Asabri dan Taspen seharusnya punya pijakan hukum UU, bukan yang sekarang, yaitu PP," kata Timboel.
Dia menilai peleburan pengelolaan program layanan Taspen dan Asabri akan membuat efisiensi biaya operasional karena dijadikan satu dengan BPJS Ketengakerjaan. Sedangkan jika dibuat lagi UU untuk melegitimasi Taspen dan Asabri, akan timbul biaya operasional di masing-masing entitas.
Pengelolaan jaminan sosial ketenagakerjaan yang terpisah-pisah menurutnya tidak efektif dan efisien.
"Menjadi hal umum, pengelola jaminan sosial itu dilaksanakan oleh lembaga nirlaba, sementara Taspen adalah lembaga yg mengejar profit. Ini akan berdampak pada tata kelolanya. Saya menilai tata kelola BPJS Ketenagakerjaan lebih baik dari Taspen dan Asabri," katanya.
Adapun, MK pada Kamis (30/9/2021), dalam putusannya telah mengabulkan uji materi Pasal 57 huruf e dan Pasal 65 ayat (1) UU No 24 Tahun 2011 (UU BPJS), dinilai berpotensi menimbulkan kerugian hak konstitusional para peserta Asabri. MK juga mengabulkan uji materi Pasal 57 huruf f dan Pasal 65 ayat (2) UU BPJS yang diajukan para pensiunan Taspen.
Pasal-pasal tersebut mengamanatkan agar pengalihan program Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dan program pembayaran pensiun dari PT Asabri (Persero), serta pengalihan program tabungan hari tua dan program pembayaran pensiun dari PT Taspen (Persero) kepada BPJS Ketenagakerjaan, dilakukan paling lambat 2029.
MK menyatakan pasal-pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.