Bisnis.com, JAKARTA – Pemodal asal Korea Selatan tercatat rajin menyuntikan modal ke bank-bank yang telah diambil alih kepemilikannya. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menilai bahwa hal ini tidak terlepas dari daya pikat industri perbankan Tanah Air.
Dua pemodal asal Korea Selatan (Korsel), yakni Industrial Bank of Korea (IBK) dan APRO Financial Co. Ltd masing-masing telah mengambil alih kepemilikan PT Bank IBK Indonesia Tbk. (AGRS) dan PT Bank Oke Indonesia Tbk. (DNAR).
Sampai dengan tahun ini, IBK dan APRO itu telah menyuntikkan dana masing-masing sebesar Rp999,99 miliar dan Rp456,88 miliar melalui aksi Penawaran Umum Terbatas atau rights issue.
Pada 2022, AGRS akan menerbitkan saham sebanyak-banyaknya 10.928.961.749 saham dengan nilai nominal Rp100 per saham. Jumlah saham yang akan diterbitkan bergantung pada keperluan dana perseroan dan harga pelaksanaan Penawaran Umum Terbatas (PUT) IV.
Dana yang diperoleh dari penambahan modal tersebut akan digunakan untuk keperluan modal kerja Bank IBK, sehingga struktur permodalan perseroan akan menjadi lebih baik dan memiliki pendanaan yang cukup untuk menjalankan strategi usahanya.
Sementara itu, manajemen DNAR mengungkapkan rencananya untuk melakukan kembali aksi tambah modal dengan skema rights issue pada tahun depan. “Tahun depan kami akan rights issue lagi sebesar Rp500 miliar,” kata Direktur Bank Oke Indonesia Efdinal Alamsyah.
Baca Juga
Efdinal menuturkan bahwa pelaksanaan aksi korporasi tersebut akan dilakukan pada kuartal IV/2022. Dia menuturkan bahwa dana hasil rights issue akan digunakan untuk ekspansi kredit yang diberikan di atas 20 persen.
Di sisi lain, aksi penambahan modal oleh bank-bank mini tidak terlepas dari upaya pemenuhan modal inti minimum yang ditetapkan oleh OJK sebesar Rp 2 triliun pada akhir tahun ini dan Rp3 triliun akhir 2022.
Hingga 30 September 2021, modal inti Bank IBK Indonesia tercatat sebesar Rp1,85 triliun. Sementera itu, Bank Oke tercatat sudah memenuhi kewajiban aturan modal minimum dengan raihan modal Rp2,38 triliun pada kuartal III/2021.
Senior Faculty Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) Amin Nurdin menilai langkah sejumlah perbankan cukup serius dalam memenuhi modal inti minimum. Namun, hampir semua bank tersebut menghadapi masalah kredit macet atau non-performing loan (NPL).
“Dan itu masih terus diupayakan untuk diperbaiki. Selain itu mereka juga menghadapi masalah likuiditas sehingga akan sulit bergerak hanya untuk memperbaiki kualitas kredit, kecuali dengan penambahan modal untuk investasi di sana,” tutur Amin.
Dia menyatakan dalam kondisi itu, beberapa alternatif dapat ditempuh oleh perbankan, salah satunya melalui mekanisme merger atau menawarkan diri untuk diakuisisi bank besar lalu bertransformasi menjadi bank digital.