Bisnis.com, JAKARTA — PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. atau BBNI terus memantau perkembangan perang Rusia-Ukraina. Beberapa produk komoditas diperkirakan terdampak oleh konflik kedua negara tersebut.
Corporate Secretary BNI Mucharom mengatakan perseroan melihat dampak ekonomi dari konflik Ukraina relatif minim terhadap perekonomian Indonesia.
Pada 2021, ekspor Indonesia ke Rusia tercatat US$1,49 miliar atau hanya 0,65 persen dari total ekspor Indonesia. Adapun, Ekspor Indonesia ke Ukraina tercatat US$416,9 juta atau hanya 0,18 persen dari total ekspor Indonesia.
“Namun, yang tengah kami lihat adalah dampak konflik ini terhadap kenaikan harga minyak dunia, dan beberapa produk komoditas, yang akhirnya berdampak pada kenaikan inflasi di Indonesia,” kata Mucharom kepada Bisnis, Jumat (4/3/2022).
Dia menambahkan kondisi tersebut berpotensi mempercepat peningkatan suku bunga acuan Bank Indonesia.
BNI berharap kenaikan harga komoditas ini dapat mendorong pertumbuhan ekonomi lebih kuat di dalam negeri. BNI juga berharap konflik akan segera berakhir, demi memberikan kepastian dalam berbisnis, dan menjadikan iklim berinvestasi semakin membaik, sehingga berdampak positif pada perekonomian.
Baca Juga
“Hal ini tentunya akan berdampak baik bagi banyak sektor ekonomi di Indonesia yang saat ini tengah cukup baik melewati masa pemulihan ekonomi,” katq Mucharom.
Sebelumnya beberapa ekonom menilai konflik Rusia-Ukraina berdampak terhadap perekonomian Indonesia jika terjadi dalam jangka panjang.
Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Piter Abdullah mengatakan jika konflik Rusia dengan Ukraina tidak meluas dan cepat reda, dampaknya terhadap perekonomian akan minimal, sehingga penyaluran kredit perbankan tetap dapat berjalan normal.
“Tetapi kalau konflik terus melebar, bahkan memicu Perang Dunia ke-3, perekonomian global akan terganggu dan pada gilirannya berdampak negatif terhadap perekonomian domestik. Penyaluran kredit perbankan akan tertahan. Walaupun saya perkirakan masih akan tumbuh positif,” kata Piter.
Adapun secara sektoral, menurutnya, yang masih kurang aman untuk disalurkan kredit, bahkan sebelum peperangan terjadi, adalah sektor pariwisata dan transportasi. Sementara itu untuk sektor masih prospek adalah sektor makanan dan minuman, teknologi informasi, perdagangan, manufaktur, dan farmasi.
Sementara itu, Wakil Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto mengatakan layanan kredit yang terkait langsung dengan perdagangan Indonesia- Rusia atau Indonesia - Ukraina akan terdampak langsung.
Rusia terkena sanksi keuangan. Jika pembayaran dari Rusia tidak lancar maka imbasnya bisa ke eksportir Indonesia. Demikian juga perdagangan dengan Ukraina. Jika pembayaran tidak lancar karena konflik perang maka ada risiko kredit.
“Berikutnya, barang/komoditas tersebut jika menjadi bahan baku industri maka harus segera dicari alternatif dari negara yang aman agar tidak mengganggu produksi, sehingga tidak mengancam kelancaran pembayaran kredit dari Industri ke perbankan,’ kata Eko.
Dia juga sependapat dengan Piter, perang berlarut-larut tentu akan berdampak pada penyaluran kredit. Perang menciptakan ketidakpastian ekonomi.
Beberapa kredit sektoral yang berkaitan langsung dengan komoditas perdagangan Indonesia-Rusia dan Indonesia-Ukraina, dengan industri-industri di Indonesia kemungkinan akan ditinjau oleh perbankan untuk dikalkulasi ulang target penyaluran kreditnya.
“Terutama jika situasi perang tidak segera mereda dalam sebulan,” kata Eko.