Bisnis.com, JAKARTA - Sejumlah pemain teknologi finansial pendanaan bersama (P2P lending) mengaku keberatan atas beberapa poin regulasi anyar pengenaan pajak penghasilan (PPh) dan pajak pertambahan nilai (PPN) atas transaksi berkaitan platform P2P lending.
Sebagai informasi, aturan tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 69/PMK.03/2022 tentang PPh dan PPN Atas Penyelenggaraan Teknologi Finansial. Beleid menerangkan aturan ini mulai berlaku per 1 Mei 2022.
Singkatnya, terkhusus P2P lending, beleid ini mengatur mekanisme pengenaan PPh atas imbal hasil atau bunga yang diterima pemberi pinjaman (lender), serta pengenaan PPN buat segala fee dan komisi atas jasa besutan platform.
CEO & Co-Founder PT Akseleran Keuangan Inklusif (Akseleran) Ivan Nikolas Tambunan mengungkap bahwa poin keberatan paling dominan dari para pemain, terutama terkait status pengenaan PPN terhadap layanan utama P2P lending sebagai jasa kena pajak.
"Bagaimana pun, kami ini punya status sebagai lembaga jasa keuangan. Layanan utama kami sebagai penyalur pinjaman itu sama seperti pembiayaan multifinance atau kredit bank. Aturan ini seakan menganggap layanan atau jasa kami ini sama dengan platform digital lain, seperti e-commerce atau marketplace," ujarnya kepada Bisnis, Rabu (6/4/2022).
Pria yang juga dipercaya sebagai Ketua Bidang Hukum, Etika & Perlindungan Konsumen Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) ini mengungkap bahwa aturan PPN ini berpotensi membuat biaya layanan industri P2P lending membengkak.
Baca Juga
Padahal, industri P2P lending sudah sejak lama dipersiapkan sebagai lembaga jasa keuangan non-bank yang menyasar segmen-segmen peminjam (borrower) yang belum bisa dilayani LJK konvensional, seperti bank dan multifinance. Baik itu individu, maupun UMKM, dengan karakteristik pinjaman kecil bertenor singkat.
"Maka dari itu, aturan ini berpotensi membuat biaya kita menjadi kurang kompetitif. Padahal, terutama P2P lending yang di sektor produktif, kami melayani para pelaku UMKM yang notabene LJK konvensional itu tidak mau, bahkan menghindari," tambahnya.
Adapun terkait pemotongan PPh secara langsung dari platform atas bunga atau imbal hasil para lender, Ivan tidak mempermasalahkannya, karena seharusnya sejak dahulu memang lender melaporkannya sendiri sebagai pendapatan pasif.
Sedikit berbeda, CEO & Co-founder PT Lunaria Annua Teknologi (KoinWorks) Benedicto Haryono tidak sepakat terkait pengenaan PPh atas bunga. Sebab, hal ini akan memberikan disinsentif untuk para lender ritel atau perorangan.
Sebagai contoh, Ben menjelaskan suatu P2P lending menawarkan borrower dengan profil risiko berbeda-beda. Semakin tinggi risikonya, semakin tinggi bunganya. Artinya, lender akan mendapatkan return lebih besar apabila memilih borrower yang lebih berisiko.
Di sisi lain, margin yang diambil suatu platform dari beragam profil risiko tersebut sebenarnya cenderung konstan, tidak terlalu signifikan. Oleh sebab itu, Ben melihat aturan ini berpotensi mengikis tujuan utama P2P lending sebagai platform yang mengakomodasi UMKM underbank dan unbanked yang cenderung berisiko.
"Contoh, ketika dulu KoinWorks mulai mengakomodasi UMKM penjual online di e-commerce, lender institusi belum ada yang mau, karena melihat risikonya terlalu tinggi. Sementara itu, lender ritel yang jalan, mereka sudah support dari awal. Inilah P2P lending yang ideal. Artinya, kalau platform nantinya mau menyasar UMKM lain di sektor baru semacam itu, lender ritel yang mau mengambil risiko akan cenderung dirugikan karena potongannya besar," jelasnya.
Oleh sebab itu, pria yang sekaligus Wakil Ketua Klaster Produktif AFPI ini berharap adanya insentif buat menggairahkan lender ritel. Menurutnya, skema pengenaan PPh yang berbeda buat lender ritel akan sejalan dengan tujuan strategis pemerintah memperbesar akses permodalan buat UMKM.