Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Top 5 News BisnisIndonesia.id: Strategi Bertahan BCA hingga Runtuhnya Reputasi Softbank

Kejatuhan saham teknologi dinilai juga dapat merusak reputasi Softbank Group, sebagai investor kakap di sektor teknologi. Isu ini diulas secara komprehensif di Bisnisindonesia.id.
Karyawan beraktivitas di salah satu kantor cabang BCA di Jakarta, Selasa (21/12/2021). Bisnis/Eusebio Chrysnamurti
Karyawan beraktivitas di salah satu kantor cabang BCA di Jakarta, Selasa (21/12/2021). Bisnis/Eusebio Chrysnamurti

Bisnis.com, JAKARTA —  Valuasi saham sektor teknologi jatuh seiring dengan kenaikan suku bunga acuan oleh bank sentral utama global.

Kejatuhan saham teknologi dinilai juga dapat merusak reputasi Softbank Group, sebagai investor kakap di sektor teknologi. Apalagi di tengah memburuknya kinerja investasi perusahan. Isu ini diulas secara komprehensif di Bisnisindonesia.id.

Selain itu, sejumlah isu aktual di sektor finansial dan industri turut menjadi sorotan, mulai daya tahan BCA terhadap sentimen negatif kenaikan suku bunga global,dari laju penjualan otomotif yang mulai ngegas pasca-Lebaran.

Berikut highlight Bisnisindonesia.id, Sabtu (14/5/2022) :

Energi Baru Penjualan Mobil Pasca-Lebaran
Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) memprediksikan penjualan mobil pada April dan Mei akan mengalami penurunan. Sementara itu, sejumlah agen pemegang merek cenderung optimistis performa pasar akan lebih baik. 

Sekretaris Umum Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) Kukuh Kumara mengatakan penjualan pada  April akan mengalami penurunan dibandingkan penjualan pada Maret karena jumlah hari kerja yang terbatas.

“Indikasinya, hari kerja yang lebih pendek karena banyak libur. Sampai sekarang data [kinerja industri kendaraan bermotor] belum masuk,” ujar Kukuh.

Gaikindo juga memprediksikan penjualan pada Mei mengalami penurunan, mengingat Lebaran terjadi di antara dua bulan yaitu April dan Mei, yang mana mengakibatkan hari kerja berkurang.

“Sekarang sudah hari ke-11, tetapi baru 2 hari ini hari kerjanya dan operasional,” jelas Kukuh. Pengurangan hari kerja dipastikan berdampak pada penjualan. Hal ini selalu terjadi setiap tahun, di mana akan terjadi peningkatan, lalu penurunan setelahnya stabil.

“Pasti kebanyakan konsumen menghabiskan uang pada saat Lebaran atau awal Ramadan, agar pada saat Lebaran sudah memakai mobil baru. Sehabis Lebaran jeda dahulu,” tuturnya

 

Sinyal Optimisme Direksi di Tengah Kejatuhan Harga Saham BBCA
Saham PT Bank Central Asia Tbk. termasuk dalam jajaran emiten yang tertekan akibat sentimen negatif kenaikan suku bunga global, hingga merontokkan semua pertumbuhan yang sempat ditorehkan sepanjang tahun ini. Namun, jajaran direksi justru makin aktif memburu saham perseroan.

Sebelum libur lebaran, saham BBCA sudah sempat menyentuh level Rp8.200. Jika dibandingkan dengan harga penutupan pada akhir 2021 lalu yang sebesar Rp7.300, saham emiten dengan kode BBCA ini sebenarnya sudah tumbuh 12,33 persen year to date (YtD).

Namun, begitu pasar kembali dibuka usai libur Lebaran, saham perseroan seketika anjlok. Selama pekan kedua Mei 2022, saham perseroan ditutup melemah selama 3 hari dengan tingkat pelemahan yang sangat dalam, yakni -6,46 persen pada Senin (9/5), -0,99% pada Selasa (10/5), dan -4,90% pada Kamis (12/5).

Sementara itu, penguatan terjadi dalam 2 hari, yakni pada Rabu (11/5) sebesar 1,66 persen dan pada Jumat (13/5) sebesar 0,69 persen. Terlihat bahwa penguatan yang terjadi pada 2 hari ini tidak cukup untuk menebus koreksi tajam yang terjadi pada 3 hari lainnya.

Alhasil, saham perseroan kini ditutup di level Rp7.325 per saham. Jika dibanding posisi akhir tahun 2021, tingkat return-nya tinggal 0,34 persen YtD saja.

Hal ini sejalan dengan koreksi yang terjadi pada indeks harga saham gabungan (IHSG). Pada akhir pekan kedua Mei 2022, IHSG juga sudah ditutup di level 6.597,99. Jika dihitung secara YtD, tingkat return IHSG tinggal 0,25 persen saja.

Kondisi ini terjadi setelah pelaku pasar merespons kabar yang berkembang di pasar global di saat Indonesia masih menikmati libur Lebaran, yakni keputusan bank sentral Amerika Serikat, yakni the Fed, untuk menaikkan suku bunga acuannya sebanyak 50 bps.

Ini adalah tingkat kenaikan tertinggi yang pernah dilakukan oleh bank sentral Negeri Paman Sam itu sejak tahun 2000 atau dalam 22 tahun terakhir. Kini, suku bunga acuan the Fed ada di level 0,75 persen hingga 1,00 persen.

Top 5 News BisnisIndonesia.id: Strategi Bertahan BCA hingga Runtuhnya Reputasi Softbank

Ilustrasi bahan bakar biodiesel/istimewa

Peran Strategis Biodiesel topang Transisi Energi Nasional
Tak bisa dipungkiri jika penggunaan bioenergi khususnya biodiesel mempunyai peran strategis dalam menopang implementasi komitmen transisi energi fosil menuju energi terbarukan.

Komitmen kebijakan pemerintah untuk memperluas pemanfaatan sumber daya energi terbarukan tampaknya gayung bersambut dengan minat masyarakat pengguna yang terbukti dengan tren positif konsumsi biodiesel sepanjang 10 tahun terakhir.

Tak heran jika produksi biodiesel juga tumbuh pesat setidak dalam 16 tahun terakhir di mana hingga tahun lalu kapasitas produksi terpasangnya mencapai 16,6 juta kiloliter.

Catatan Asosiasi Produsen Biodiesel (Aprobi) menunjukkan sepanjang tahun 2020 penyaluran B30 mencapai 8,43 juta kiloliter dan meningkat hingga 8,44 juta Kiloliter pada 2021 meskipun dalam dua tahun terakhir Indonesia menghadapi persoalan pandemi yang berdampak kepada aspek ekonomi dan sosial.
 
“Untuk tahun ini alokasi penyaluran B30 diproyeksikan mencapai 10,15 juta kiloliter,” tutur Ketua Harian Aprobi Paulus Tjakrawan.

Aprobi juga memperhitungkan bahwa sepanjang tahun lalu pemanfaatan minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) untuk biodiesel sebesar 15 persen dari total produksi minyak sawit nasional yang mencapai 48,09 juta ton.

 

Reputasi Softbank, Investor GOTO Terancam Saham Sektor Teknologi
Jatuhnya saham sektor teknologi dinilai dapat merusak reputasi Softbank Group Corp,. sebagai salah satu perusahaan investasi terbesar sejagat. 

Pasalnya, perusahaan yang dikendalikan oleh miliarder Masayoshi Son termasuk dalam jajaran investor kakap di sejumlah perusahaan sektor teknologi global. Namun, valuasi sejumlah korporasi teknologi jatuh seiring dengan kenaikan suku bunga acuan oleh bank sentral utama global. 

Faktor penyebab Softbank terjerumus di palung terdalam pada kuartal I/2022 adalaha karena aksi jual saham teknologi yang akhirnya memukul nilam saham portofolionya. Diantara kerugian tersebut termasuk kepemilikan saham pada Coupang Inc, Uber Tecnnologies Inc, dan Didi Global Inc.

Saham Coupang, perusahaan yang berbasis di Korea Selatan itu ambles 40 persen pada kuartal pertama, kemudian Didi anjlok hingga 50 persen. Kemudian KE Holding turun 39 persen. Tak hanya itu, skandal dan salah langkah dari WeWork Inc., Wirecard AG, dan Greensill Capital juga telah merusak reputasi Softbank dalam memilih perusahaan rintisan.

Perusahaan yang bermarkas di Jepang tersebut diperkirakan menelan kerugian hingga US$18,6 miliar dalam investasi yang dilakukan pada perusahaan publik selama kuartal I/2022. Angka tersebut merupakan kerugian terbesar dan melampaui catatan tekor pada kuartal kedua tahun lalu, yakni mencapai US$18,3 miliar.

Penyebab utama dari kerugian tersebut adalah  Softbank Vision Fund, kendaraan utama Son untuk menebar jala investasi di sejumlah korporasi global, mencatatkan kerugian hingga mencapai US$10 miliar pada tiga bulan pertama tahun ini.

Anggaran Belanja Modal Deras, Momentum Emiten Kian Ekspansif
Pelongaran PPKM di tengah kasus Covid-19 yang melandai berpotensi menjadi momentum bagi sejumlah emiten untuk menggenjot ekspansi . Aksi itu dapat dilakukan dengan  mengucurkan belanja modal yang lebih deras pada sisa tahun ini. 

Ke depannya, emiten masih memiliki  alokasi belanja modal yang cukup besar untuk dikucurkan pada kuartal II/2022 atapun hingga akhir tahun ini. Harga komoditas yang masih tinggi menjadi salah satu katalis bagi emiten di sektor tersebut untuk mengucurkan belanja modal yang lebih besar. 

Meskipun di sisi lain, tekanan bahan baku yang dialami emiten sektor barang konsumsi dan konsumen komoditas berisiko menjadi penghambat realisasi belanja modal karena emiten menjaga tingkat likuiditas dan kas.

Belum lagi, gejolak ekonomi akibat konflik geopolitik dan pengetatan moneter global bisa menjadi pertimbangan bagi emiten untuk menunda ekspansi hingga kondisi menjadi lebih kondusif. 

Namun, pada awal 2022, sejumlah emiten cukup percaya diri untuk mengerek alokasi belanja modal. Misalnya saja,  PT Astra International Tbk. (Astra)  yang mengalokasikan capex hingga Rp19 triliun,PT  United Tractors  Tbk. US$750 juta, dan  PT Adaro Energy Tbk.  hingga US$400 juta. Selain itu, emiten sektor pertambaangaan ABM Investama bersiap menggelontorkan capex US$200 juta untuk pengadaan alat berat dan peralatan pendukung operasional di tengah harga batu bara yang masih panas. 

Kendati demikian pada kuartal I/2022, serapan belanja modal emiten cenderung rendah. Salah satunya tecermin dari belanja modal TLKM yang tercatat Rp5,9 triliun dari alokasi sekitar Rp30 triliun. Namun, ADRO sudah menyerap belanja modal US$70 juta pada 3 bulan pertama 2022 atau naik 71 persen  secara tahunan. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper