Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Ekonomi Pulih, Restrukturisasi Kredit Perbankan Kian Melandai

Sejumlah pengamat menilai tren penurunan restrukturisasi kredit terjadi seiring mulai pulihnya perekonomian Indonesia pasca pandemi Covid-19.
Ilustrasi nasabah melakukan proses restrukturisasi kredit di bank /Dok. Istimewa
Ilustrasi nasabah melakukan proses restrukturisasi kredit di bank /Dok. Istimewa

Bisnis.com, JAKARTA – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat restrukturisasi kredit Covid-19 sudah mulai melandai dari tahun ke tahun. Beberapa pengamat menilai tren penurunan restrukturisasi kredit terjadi seiring mulai pulihnya kondisi perekonomian.

Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso mengungkapkan restrukturisasi kredit Covid-19 per Maret 2022 mengalami penurunan, yakni sebesar -21,67 persen secara tahunan (year-on-year/yoy) menjadi Rp630,11 triliun. Sama halnya dengan jumlah debitur yang menurun menjadi 3,63 juta debitur pada posisi Maret 2022.

Untuk UMKM, outstanding kredit restrukturisasi Covid-19 mencapai Rp236,06 triliun atau -23,88 persen yoy dengan 2,74 juta debitur per Maret 2022. Sedangkan outstanding kredit restrukturisasi Covid-19 untuk non UMKM mencapai Rp394,06 triliun atau turun 20,28 persen yoy dengan jumlah debitur sebanyak 0,89 juta debitur.

“Proyeksi sementara di April ini kredit restrukturisasi Covid-19 masih ada Rp606,39 triliun. Ini sudah jauh dari angka pertama yang sampai titik tertinggi hampir Rp1.000 triliun di 2020,” kata Wimboh saat rapat bersama Komisi XI DPR, Selasa (31/5/2022).

Menanggapi hal itu, Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Eko Listiyanto mengatakan tren restrukturisasi kredit semakin menurun seiring mulai pulihnya ekonomi, namun dia menyebut restrukturisasi kredit yang mencapai Rp606,39 triliun tersebut dinilai masih cukup besar.

Ke depan kemungkinan akan terus melandai, karena pertumbuhan ekonomi cukup kuat,” ujar Eko kepada Bisnis, Kamis (2/6/2022).

Senada dengan Eko, Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah menyebut melandainya nilai restrukturisasi lebih disebabkan oleh mulai pulihnya perekonomian. Selain itu, Piter menilai aktivitas dan cash flows dunia usaha pun sudah mendekati normal dan terlihat banyak usaha yang sudah melewati level sebelum pandemi.

“Seiring dengan sudah membaiknya cash flows dunia usaha, kemampuan mereka membayar kewajiban kepada perbankan juga membaik. Kebutuhan akan restrukturisasi juga turun,” ucap Piter.

Berakhirnya Masa Relaksasi 

 Seperti kebijakan pada umumnya, restrukturisasi kredit ini pun memiliki masa berlaku, yaitu akan berakhir pada Maret 2023. Sebagai pengingat, dalam Rapat Dewan Komisioner yang dilaksanakan pada Kamis (2/9/2021), OJK resmi memperpanjang relaksasi restrukturisasi kredit, dari semula 31 Maret 2022 menjadi 31 Maret 2023.

Dalam keterangan resminya, Wimboh mengungkapkan restrukturisasi kredit yang dikeluarkan sejak awal 2020 telah membantu perbankan dan para debitur, termasuk UMKM.

“Untuk menjaga momentum itu dan memitigasi dampak dari masih tingginya penyebaran Covid-19, maka masa berlaku relaksasi restrukturisasi kami perpanjang hingga 2023,” tuturnya.

Piter memandang restrukturisasi kredit bisa dihentikan, asal dengan catatan proses pemulihan ekonomi terus berlanjut.

“Tidak perlu diperpanjang [restrukturisasi kredit Covid-19]. Asumsinya gejolak global akibat perang dan kenaikan harga komoditas tidak mengganggu proses pemulihan ekonomi nasional,” terangnya.

Sementara itu, Eko menilai restrukturisasi kredit tidak bisa diperpanjang terus-menerus. Maka dari itu, dia menyarankan kepada otoritas untuk diperlukan persiapan skenario tanpa harus memperpanjang relaksasi itu.

Umumnya sektor-sektor yang semakin pulih akan membuat restrukturisasi kredit menurun, sehingga perlu dipilah sektor-sektor yang masih tertekan dan pemulihannya relatif lambat,” lugasnya.

 

Bankir Pantau Kredit  

Kalangan bankir pun telah menyiapkan beragam strategi manakala masa relaksasi dihentikan, salah satunya dengan terus melakukan pemantauan (monitoring) secara intens terhadap portofolio kredit yang tersisa.

Emiten bank milik konglomerat Anthoni Salim, PT Bank Ina Perdana Tbk. (BINA) misalnya, bakal intensif melakukan monitoring, khususnya kepada debitur yang terkena dampak Covid-19. Selain itu, Bank Ina juga mengidentifikasi debitur-debitur yang dinilai sudah tidak akan mampu bertahan, sehingga perseroan memberikan beberapa alternatif untuk penyelesaian serta meningkatkan pencadangan (cadangan kerugian penurunan nilai/CKPN).

Per April 2022, restrukturisasi kredit Covid-19 Bank Ina mengalami penurunan sebesar 50 persenDirektur Utama Bank Ina Daniel Budirahayu mengatakan penurunan restrukturisasi kredit Covid-19 perseroan sesuai dengan penurunan kredit restrukturisasi secara nasional yang disampaikan oleh otoritas.

Di sisi lain, PT Bank Central Asia Tbk. (BBCA) menyatakan terus melakukan kajian secara rutin atas kemampuan pembayaran utang debitur restrukturisasi. Hal ini sejalan dengan tujuan BCA, yaitu membantu debitur dalam masa-masa yang pemulihan saat ini. BBCA mencatat per Maret 2022 terdapat 12,5 persen atau Rp77,4 triliun dari total restrukturisasi kredit lancar.

“Tren pembayaran normal kami harapkan ke depan akan terus membaik. Namun, kami melihat beberapa nasabah di sektor-sektor tertentu seperti tourism, tekstil, dan konstruksi yang membutuhkan waktu lebih lama untuk recover," kata  Executive Vice President Secretariat & Corporate Communication BCA Hera F. Haryn kepada Bisnis, Kamis (2/6/2022).

Total rasio risiko kredit atau loan at risk (LaR) BCA pun mengalami perbaikan yang didukung oleh penurunan kredit restrukturisasi, yaitu sebesar 13,8 persen dari total kredit pada kuartal I/2022 atau turun 19,4 persen pada tahun sebelumnya.

Turunnya rasio LaR, kata Hera, seiring dengan melandainya kasus Covid-19 yang berpengaruh pada mobilitas masyarakat yang meningkat dan berdampak positif bagi pulihnya aktivitas bisnis beberapa debitur menjelang akhir 2022.

Hingga saat ini, Hera menyatakan BCA masih melakukan melakukan monitoring secara intens terkait kondisi saat ini menuju pemulihan ekonomi nasional.

“Kami juga mengapresiasi respon cepat regulator dalam merelaksasi kebijakan restrukturisasi untuk membantu perbankan dan nasabah. BCA senantiasa berada di sisi nasabah dalam masa pemulihan perekonomian ini, termasuk dengan merestrukturisasi kreditnya sejak awal pandemi,” katanya.

Setali tiga uang, PT Bank CIMB Niaga Tbk. (BNGA) juga terus mengalami penurunan. BNGA mencatat total portofolio restrukturisasi Covid-19 berada di bawah 4 persen hingga April 2022.

Presiden Direktur CIMB Niaga Lani Darmawan mengatakan perseroan terus menjalin komunikasi yang intens dengan semua nasabah, terutama yang masih memiliki portofolirestrukturisasi kredit Covid-19.

Adapun dari bank pembangunan daerah (BPD), PT BPD Jawa Barat dan Banten Tbk. (BJBR) atau Bank BJB mencatat sisa restrukturisasi kredit Covid-19 per April 2022 senilai Rp1,4 triliun atau kurang dari 1,5 persen dari total kredit perseroan.

Direktur Utama Bank BJB Yuddy Renaldi mengatakan takaran dampak pada Bank BJB relatif lebih rendah dibandingkan industri, di mana pada puncaknya di 2020, total restrukturisasi kredit Covid-19 sebesar 3 persen dari total kredit.

Yuddy melihat perekonomian Indonesia pun mulai kembali pulih, meski masih dibayang-bayangi risiko suku bunga karena kebijakan global, khususnya The Fed. Hal ini tercermin dari berbagai indikator yang mulai tumbuh, mulai dari kinerja industri perbankan, permintaan kredit, hingga konsumsi masyarakat yang berangsur meningkat.

Takaran dampak pada Bank BJB relatif lebih rendah dibandingkan industri, di mana pada puncaknya di 2020 total restrukturisasi Covid-19 sebesar 3 persen dari total kredit. Kini [per April 2022] tersisa Rp1,4 triliun atau kurang dari 1,5 persen dari total kredit, kata Yuddy.

Ke depannya, Yuddy menyatakan emiten bersandi saham BJBR ini akan terus melakukan pemantauan (monitoring) terhadap portofolio yang tersisa. Pasalnya, kata Yuddy, tidak seluruh sektor pulih dalam waktu yang bersamaan. “Ada sektor yang pulih lebih cepat, ada pula sektor yang masih membutuhkan waktu," imbuhnya. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper