Bisnis.com, JAKARTA - Pelaku industri asuransi kesehatan menantikan skema baru koordinasi manfaat dalam program jaminan kesehatan nasional (JKN) berbasis kebutuhan dasar kesehatan (KDK) dan kelas rawat inap standar (KRIS).
Adapun, Kementerian Kesehatan akan mendorong peningkatan sinergi BPJS Kesehatan dengan asuransi kesehatan tambahan (AKT) melalui skema koordinasi manfaat (coordination of benefit/CoB) dalam implementasi JKN berbasis KDK dan KRIS. Pemodelan CoB bakal dirancang agar tidak ada duplikasi pembayaran premi bagi masyarakat peserta BPJS Kesehatan sekaligus peserta asuransi kesehatan swasta ketika mengakses manfaat atau layanan tambahan yang tidak ditanggung BPJS Kesehatan.
Direktur PT Asuransi Sinar Mas Dumasi MM Samosir menyambut baik rencana Kementerian Kesehatan untuk menerapkan KRIS dan memperbaiki skema CoB. Dengan adanya wacana tersebut, dia berharap asuransi kesehatan swasta dapat turut berpartisipasi secara luas dalam menanggung layanan atau manfaat tambahan yang tidak ditanggung oleh BPJS Kesehatan.
"Kalau dibuat satu level atau single plan saja yang paling bawah, artinya masih ada ruang untuk berasuransi. Kalau terjadi klaim, yang paling bawah dibayar BPJS, sisanya dibayar asuransi. Itu esensi CoB yang dari awal kami harapkan. Kalau ini berjalan ya kami pasti industri asuransi kesehatan hidup lagi," ujar Dumasi, dikutip Selasa (14/6/2022).
Dumasi yang juga merupakan Direktur Eksekutif Forum Asuransi Kesehatan Indonesia (FORMAKSI) menuturkan, sejauh ini skema kerja sama CoB yang ada belum berjalan dengan baik.
Baca Juga
Selama ini, perusahaan asuransi yang tergabung dalam FORMAKSI memang telah melakukan kerja sama dengan sejumlah rumah sakit untuk menerapkan skema semacam CoB. Dengan skema tersebut, peserta BPJS Kesehatan yang memiliki AKT tidak perlu membayar selisih biaya yang timbul ketika ada permintaan untuk naik kelas. Selisih biaya yang timbul dapat langsung ditagihkan oleh rumah sakit ke penerbit AKT.
Namun, kerja sama tersebut hanya bisa diterapkan pada sejumlah rumah sakit yang bersedia dan secara sistem mampu melakukan proses pemisahan tagihan atau split billing.
Dumasi optimistis bila skema CoB diperbaiki dan berjalan dengan baik, industri asuransi kesehatan akan semakin bertumbuh. Namun, ia belum bisa mengestimasikan seberapa besar potensi bisnis yang bisa diraih industri asuransi kesehatan dengan penerapan skema CoB dalam implementasi KRIS.
"Belum hitung potensinya karena kami mau audiensi dulu dengan Menteri Kesehatan. Melalui FORMAKSI, Kadin, AAJI, AAUI, kami sudah meeting-meeting juga. Begitu Menkes bilang CoB mau diperbaiki kami happy banget. Kami harus audiensi dulu apakah yang disampaikan Menkes itu sama dengan pemahaman kami, kalau sudah sama tinggal bersama industri bagaimana cara menggolkan ini. Kami juga harus ngomong dengan BPJS karena kuncinya di BPJS," kata Dumasi.
Direktur Utama PT Asuransi BRI Life Iwan Pasila menilai penerapan skema koordinasi manfaat dalam penerapan kelas standar memang harus ditinjau terlebih dahulu.
"Penerapan kelas standar ini akan memudahkan rumah sakit untuk menentukan ekses dan juga bagi kami di industri asuransi untuk mengestimasi eksposur klaimnya. Perlu dilihat kesiapan rumah sakit dalam menerapkan kelas standar ini dan bagaimana rumah sakit menentukan eksesnya," kata Iwan kepada Bisnis.
Menurutnya, tantangan besar dalam penerapannya adalah masih terletak pada mekanisme rujukan melalui fasilitas kesehatan tingkat pertama karena sebarannya yang belum merata di seluruh wilayah Indonesia dan ketersediaan dokter umum yang praktik di klinik.
Terkait skema benefit sharing ini, pihaknya mengaku akan terus mengembangkan kerja sama dengan BPJS Kesehatan.
"Kami terus mengembangkan kerja sama dengan BPJS Kesehatan untuk dapat mengoptimalkan biaya layanan kesehatan sehingga bisa efektif dan efisien bagi nasabah kami," katanya.
Sikap BPJS Kesehatan
Sebelumnya, Direktur Utama BPJS Kesehatan Ali Ghufron Mukti mengungkapkan bahwa kerja sama koordinasi manfaat dengan asuransi swasta dalam program JKN selama ini belum berjalan optimal.
Oleh karena itu, kini pemerintah tengah mendorong peningkatan sinergi BPJS Kesehatan dengan asuransi swasta dalam program JKN berbasis KDK dan KRIS.
"Kerja sama dengan asuransi kesehatan tambahan nanti kami upayakan teknisnya. Kerja sama teorinya oke, CoB [coordination of benefit] sudah sejak [BPJS Kesehatan] berdiri itu. Sudah kami bahas dan jalani, tapi belum jalan optimal," ujar Ali dalam rapat kerja dengan Menteri Kesehatan dan rapat dengar pendapat di Komisi IX DPR RI, Kamis (31/3/2022).
Ali menuturkan, kerja sama koordinasi manfaat tersebut akan diatur ulang dalam revisi Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 51 Tahun 2018 tentang Pengenaan Urun Biaya dan Selisih Biaya Dalam Program Jaminan Kesehatan.
Sementara itu, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan penyusunan regulasi untuk peningkatan peran AKT akan segera dilakukan setelah revisi Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan yang akan mengatur penerapan KDK dan KRIS.
"Kami sedang mempersiapkan regulasi untuk peningkatan peran AKT agar bisa melakukan koordinasi benefit dengan BPJS yang segera bisa jalan sesudah revisi Perpres 82/2018," kata Budi.
Dalam sinergi tersebut, AKT atau asuransi swasta dapat menanggung manfaat biaya medis (misal, penambahan jumlah atau jenis pemeriksaan, obat, dan tindakan) dan biaya nonmedis (misal, baik kelas rawat inap atau rawat jalan eksekutif) yang tidak ditanggung pelayanan standar JKN.
"Misalnya, kelas standar kita berlaku kelas 2. Tapi yang bersangkutan ingin masuk kelas VIP kamarnya. Untuk biaya nonmedis itu juga bisa dikoordinasikan dengan asuransi swasta yang dimiliki oleh yang bersangkutan," kata Budi.
Dia menambahkan konsep koordinasi manfaat tersebut juga akan mendorong berkembangnya asuransi swasta. Sinergi ini akan membuka peluang AKT mendesain produk asuransi kesehatan sebagai komplemen manfaat JKN.
Untuk tahapan implementasi peningkatan peran AKT dalam JKN, kata Budi, pihaknya tengah melakukan finalisasi penetapan standar fasilitas perawatan dan standar pelayanan kesehatan yang dijamin dalam JKN .
"Kemudian kami akan merumuskan permodelan koordinasi manfaat bersama BPJS Kesehatan, DJSN, asosiasi fasilitas kesehatan, dan asosiasi asuransi swasta. Kami juga akan membangun sistem informasi terkait monitoring untuk mencegah overcharge dan double funding," jelas Budi.