Bisnis.com, JAKARTA - Jelang uji coba penerapan Kelas Rawat Inap Standar Jaminan Kesehatan Nasional (KRIS JKN) yang diselenggarakan BPJS Kesehatan, pemerintah dan lembaga terkait diminta segera memberikan kejelasan bagi pihak rumah sakit (RS) dan masyarakat mulai mendapatkan gambaran.
Sebagai pengingat, perumusan Kebutuhan Dasar Kesehatan (KDK) dan KRIS sampai saat ini masih belum final dan terus menjadi kajian Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), Kementerian Kesehatan, BPJS Kesehatan, dan beberapa kementerian terkait lain.
Padahal, uji coba di beberapa RS vertikal akan berlangsung mulai Juli 2022. Sementara implementasi secara bertahap buat RSUD dan Rumah Sakit Swasta akan berlangsung mulai 2023, dan berlanjut di seluruh RS mulai 2024.
Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar berharap para pemangku kepentingan mulai memberikan kejelasan dalam waktu dekat, karena berpengaruh terhadap sisi suplai buat para peserta.
"KDK dan KRIS ini secara yuridis memang harus dijalankan karena merupakan amanat undang-undang. Tapi harus mulai terkomunikasikan dengan baik ke publik. Jangan sampai mengurangi kemudahan akses bagi peserta, terutama yang saat ini masuk peserta mandiri kelas III," ujarnya kepada Bisnis, Selasa (14/6/2022).
Timboel melihat apabila ketentuan terkait masih belum final jelang uji coba KRIS, dan waktu persiapan RSUD dan RS Swasta terlalu mepet, maka masyarakat di daerah yang akan terkena dampak.
Baca Juga
Sebagai contoh, masih banyak RS di daerah yang memakai satu ruangan dengan 6 tempat tidur dengan jarak terlalu sempit, belum sesuai rencana KRIS, yaitu maksimal 4 tempat tidur dengan jarak 2,4 m.
Oleh sebab itu, penerapan KRIS berpotensi membuat beberapa RS mundur atau menangguhkan diri sebagai mitra BPJS Kesehatan. Padahal, Timboel melihat harusnya KRIS justru mampu menarik lebih banyak RS ikut menjadi mitra.
"RS yang tidak memenuhi spesifikasi KRIS, dia harus ada persiapan dulu, bahkan bisa mundur dari kerja sama. Nah, ini berarti menurunkan tingkat ketersediaan. Beberapa RS di daerah itu berarti harus merombak ruangan dalam waktu 6 bulan saja. Kalau RS Swasta harus keluar duit, kalau RSUD bisa minta dari APBD. Tapi ujung-ujungnya, berarti peserta juga yang menjadi susah dapat akses," tambahnya.
Sebagai informasi, hal ini turut tergambarkan berdasarkan asesmen terbaru DJSN terkait kesiapan RS yang terungkap dalam rapat kerja bersama Komisi IX DPR RI pada Maret 2022 lalu, belum semuanya mampu menerapkan KRIS.
Secara terperinci, dari 34 RS vertikal alias milik Kemenkes terdapat 94 persen yang siap menyelenggarakan KRIS dengan penyesuaian infrastruktur skala kecil.
Selanjutnya, dari RS milik TNI/Polri sebanyak 144 RS, sebanyak 74 persen di antaranya telah siap. Adapun, dari 1.916 RS mitra BPJS Kesehatan, baru 79 persen yang siap menyelenggarakan KRIS.
DJSN sendiri merencanakan bahwa setelah uji coba KRIS di RS vertikal pada Juli 2022 nanti, targetnya sudah ada 50 persen RSUD Provinsi yang sudah siap di 2023. Kemudian, 50 persen RSUD Kab/kota dan 50 persen RS Swasta ditargetkan mulai siap di Juli 2023.
Selain kesiapan RS, Timboel juga menyoroti masih belum jelasnya nominal iuran bagi peserta mandiri, yaitu peserta pekerja bukan penerima upah (PBPU) dan peserta bukan pekerja (BP), yang saat ini menerima manfaat pelayanan di ruang perawatan kelas III.
Menurut Timboel, jangan sampai metode komunikasi yang buruk justru membuat masyarakat yang kini membayar iuran secara mandiri buat kelas III makin 'ogah-ogahan', karena simpang-siur akan adanya potensi kenaikan iuran.
"Sesuai ketentuan, ada yang kena [iuran] secara nominal [PBPU dan BP], ada juga yang peserta penerima upah itu kena dari persentase gaji. Nah, KRIS ini harusnya membuat masyarakat akar rumput yang kena nominal itu makin semangat membayar iuran, karena akan ada keadilan dari sisi manfaat non-medis. Ini juga bisa membuat kepesertaan semakin menyeluruh, menarik yang belum ikut. Tapi kalau isu yang tersebar terus-terusan belum ada kejelasan, mereka ini bisa tidak semangat," ujarnya.
Sebagai informasi, iuran BPJS Kesehatan yang berlaku saat ini untuk PBPU dan BP kelas III saat ini Rp42.000 per orang per bulan, dengan subsidi pemerintah sebesar Rp7.000 per orang, sehingga hanya sebesar Rp35.000.
Sedangkan besaran iuran peserta PBPU dan BP kelas II sebesar Rp100.000 per orang per bulan dan kelas I sebesar Rp150.000 per orang per bulan.
Adapun, ketentuan iuran bagi peserta Pekerja Penerima Upah (PPU), yaitu 5 persen dari gaji per bulan, di mana 4 persen dibayar oleh pemberi kerja, sementara 1 persen dibayar peserta.