Bisnis.com, JAKARTA — Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo menyampaikan bahwa perekonomian global saat ini diwarnai dengan ancaman lonjakan inflasi dan pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah dari perkiraan sebelumnya. Kondisi ini terutama disebabkan masih berlanjutnya ketegangan geopolitik Rusia dan Ukraina, disertai dengan pengenaan sanksi yang meluas.
Di samping itu, kebijakan Zero Covid di China untuk mengendalikan penyebaran Covid-19 dinilai turut menahan perbaikan gangguan rantai pasok global.
Kondisi ini pun disertai dengan kebijakan proteksionisme, terutama pangan oleh berbagai negara sehingga mendorong tingginya harga komoditas global yang berdampak pada peningkatan tekanan inflasi global.
Lebih lanjut, Bank Sentral Amerika Serikat (AS) telah merespon kenaikan inflasi dengan kebijakan pengetatan moneter yang lebih agresif. Pada bulan ini, the Fed kembali menaikkan suku bunga sebesar 75 basis poin dan menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi negara itu.
“Sehingga menahan pertumbuhan ekonomi global dan menimbulkan risiko stagflasi,” katanya dalam konferensi pers, Kamis (23/6/2022).
Perry memperkirakan, pertumbuhan ekonomi AS, Eropa, China, Jepang, dan India akan mencapai tingkat yang lebih rendah dibandingkan dengan perkiraan sebelumnya.
Volume perdagangan dunia juga diperkirakan lebih rendah. Sejumlah kondisi ini berdampak pada ketidakpastian pasar keuangan global, yang akhirnya menghambat aliran masuk modal ke negara berkembang, termasuk Indonesia.
Meski risiko stagflasi meningkat, Bank Indonesia memutuskan mempertahankan suku bunga acuan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 3,50 persen. Pertimbangan yang diambil oleh bank sentral, terutama kondisi Indonesia yang masih terjaga. Baik dari sisi defisit neraca perdagangan, masih tersedianya ruang kredit hingga masih diuntungkannya Indonesia dengan harga komoditas.