Bisnis.com, JAKARTA — Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) menyampaikan bahwa kelas rawat inap standar (KRIS) dalam program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) BPJS Kesehatan ditargetkan dapat diterapkan di seluruh rumah sakit pada 2024.
Penerapan KRIS JKN akan dilakukan secara bertahap. Ketua Komisi Kebijakan Umum Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) Mickael Bobby Hoelman mengatakan bahwa DJSN, Kementerian Kesehatan, BPJS Kesehatan telah menyepakati implementasi KRIS diawali dengan pelaksanaan uji coba di lima rumah sakit vertikal mulai Juli 2022-Desember 2022.
Kelima rumah sakit tersebut, antara lain RSUP Kariadi Semarang, RSUP Dr. Tadjuddin Chalid Makassar, RSUP Dr. Johannes Leimena Ambon, RSUP Surakarta, dan RSUP Dr. Rival Abdullah Palembang.
Setelah uji coba, kebijakan implementasi KRIS JKN diharapkan dapat terbit pada tahun depan untuk dapat memperkuat pelaksanaan KRIS JKN di semester I/2023.
"Semester pertama, 50 persen rumah sakit vertikal diharapkan dapat mengimplementasikan KRIS JKN, sementara semester kedua 100 persen rumah sakit vertikal dan 30 persen rumah sakit lainnya, yakni RSUD, TNI/Polri, swasta, siap mengimplementasikan KRIS JKN," kata Mickael dalam rapat kerja dengan Menteri Kesehatan dan Komisi IX DPR RI, Senin (4/7/2022).
Selanjutnya, pada semester I/2024 diharapkan 50 persen RSUD, rumah sakit TNI/Polri, dan rumah sakit swasta siap mengimplementasikan KRIS JKN.
Baca Juga
"Pada semester II/2024, 100 persen rumah sakit atau seluruhnya telah siap mengimplementasikan KRIS JKN," tuturnya.
Sementara itu, BPJS Kesehatan hingga saat ini belum memutuskan mengenai penyesuaian tarif seiring dengan impelementasi kelas rawat inap standar (KRIS). Penyelenggara jaminan kesehatan nasional (JKN) ini masih menunggu hasil uji coba KRIS di sejumlah rumah sakit.
Ghufron menjelaskan KRIS diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2020 yang mengamanatkan implementasi dilakukan paling lambat pada 2022. Akan tetapi, saat itu, konteks pembuatan Perpres tersebut adalah untuk mengatasi defisit BPJS Kesehatan yang mencapai lebih dari Rp50 triliun.
Ghufron menjelaskan KRIS diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2020 yang mengamanatkan implementasi dilakukan paling lambat pada 2022. Akan tetapi, saat itu, konteks pembuatan Perpres tersebut adalah untuk mengatasi defisit BPJS Kesehatan yang mencapai lebih dari Rp50 triliun.
Tujuan penerapan KRIS itu, kata Ghufron, sangat jelas disebutkan dalam Pasal 54 A bahwa untuk keberlangsungan pendanaan jaminan kesehatan menteri bersama kementerian/lembaga terkait, organisasi profesi, dan asosiasi fasilitas kesehatan melakukan peninjauan manfaat jaminan kesehatan sesuai kebutuhan dasar kesehatan (KDK) dan rawat inap kelas standar.
"Sekarang ini kami bersyukur BPJS sudah tidak defisit, jadi isu ini sudah out of date, sudah tidak diperlukan lagi. Maka kita harus prioritaskan mana sebetulnya yang menjadi masalah, apa yang jadi masalah pokok dari sisi masyarakat, tadi disampaikan masalah akses sebetulnya," ujar Ghufron.