Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Author

Remon Samora

Analis Kantor Perwakilan BI Provinsi Papua Barat

Remon Samora adalah Analis Kantor Perwakilan Bank Indonesia (BI) Provinsi Papua Barat

Lihat artikel saya lainnya

Opini: Menghalau Kedatangan ‘Angsa Hijau’

Bank sentral dapat memengaruhi keputusan investasi dan alokasi kredit sektor keuangan lewat instrumen ini.
Kantor Bank Indonesia/Ilustrasi-Bisnis
Kantor Bank Indonesia/Ilustrasi-Bisnis

Bisnis.com, JAKARTA - ‘Angsa hijau’ (green swans) tentu tidak benar-benar ada. Ia hanyalah sebuah metafora. Bank for International Settlements mulai memopulerkan istilah ini pada Januari 2020. Maknanya pun berbeda dengan teori angsa hitam karya Nassim Nicholas Taleb.

Angsa hijau melambangkan sebuah prediksi resesi ekonomi berikutnya. Dan krisis itu bersumber dari satu fenomena, namanya perubahan iklim.

Problematika perubahan iklim harus disikapi secara holistik. Semua pihak memiliki peran untuk melakukan langkah preventif, termasuk Bank sentral karena perubahan iklim berkorelasi dengan tingkat inflasi yang menjadi ranah tugas bank sentral.

Setidaknya ada dua risiko utama dari perubahan iklim yang melatarbelakanginya. Pertama, risiko fisik yang berasal dari adanya kerusakan lingkungan akibat pengaruh cuaca. Implikasinya, terjadi penurunan produktivitas lahan pertanian yang berujung pada lonjakan harga pangan.

Kedua, risiko transisi sebagai dampak perubahan struktural dalam perekonomian. Misalnya, pergeseran pemanfaatan sumber energi dari fosil ke baru terbarukan. Tanpa perhitungan matang, kebijakan ini sangat mungkin berbuntut pada melambungnya harga energi.

Dari perspektif makro, dua risiko ini berpotensi mengguncang stabilitas sistem keuangan. Hal pertama yang terlihat jelas ialah risiko gagal bayar dan risiko pasar sebagai taruhannya. Terhentinya aktivitas ekonomi akibat bencana alam berskala masif berpengaruh buruk pada kemampuan bayar debitur. Pada saat yang bersamaan, kerusakan properti yang dialami juga menurunkan nilai aset yang menjadi agunan kredit.

Respons perbankan sudah bisa ditebak. Kran kucuran kredit ditutup atas nama prinsip kehati-kehatian dan mitigasi risiko. Tak pelak laju pertumbuhan ekonomi niscaya ikut melambat sebagai konsekuensi logisnya. Kehadiran bank sentral lewat kebijakan makroprudensial hijau tentu sangat dinantikan. Maklum, instrumen ini merupakan senjata ampuh otoritas untuk menjawab tantangan dari sisi pembiayaan.

Secara konseptual, pencapaian target iklim global tidak hanya membutuhkan pendanaan untuk proyek hijau saja. Di sisi lain, bank dan industri jasa keuangan lainnya punya tanggung jawab untuk membatasi pembiayaan pada usaha padat karbon. Pada titik inilah makroprudensial hijau akan memainkan peran krusial.

Sifat kebijakan makroprudensial memang terbilang unik. Bank sentral dapat memengaruhi keputusan investasi dan alokasi kredit sektor keuangan lewat instrumen ini. Kewenangan pengawasan terhadap sistem keuangan menempatkan bank sentral pada posisi yang memungkinkan mereka untuk memberi insentif dan disinsentif, serta mengarahkan sumber daya menuju investasi hijau.

Dalam praktiknya, berbagai instrumen makroprudensial hijau telah dikembangkan di tingkat internasional. Pertama, rasio kredit hijau. Melalui instrumen ini, bank sentral mewajibkan sejumlah proporsi minimum dari kredit perbankan untuk disalurkan kepada sektor hijau. Misalnya, Bangladesh Bank mengharuskan bank dan nonbank untuk mengalokasikan 5 persen dari portofolio kreditnya ke sektor hijau.

Kedua, uji stres iklim. Instrumen ini bertujuan untuk mengukur ketahanan lembaga keuangan dalam menghadapi skenario ekonomi yang tidak menguntungkan, khususnya akibat perubahan iklim. OECD mencatat beberapa bank sentral, seperti Inggris, Jepang, Eropa, Australia, dan China telah memulai inisiatif ini pada 2020—2021.

Ketiga, rasio pinjaman terhadap nilai aset hijau (loan to value/LTV hijau). Per definisi, LTV hijau merupakan nilai kredit yang dapat diberikan bank kepada nasabah untuk pembelian aset hijau. Bank Indonesia telah mengadopsi instrumen ini sejak 2019 lewat pengaturan rasio LTV untuk properti berwawasan lingkungan dan uang muka pemberian kredit kendaraan bermotor berwawasan lingkungan.

Bak gayung bersambut, ruang penyempurnaan instrumen makroprudensial hijau masih terbuka lebar. Argumen ini sejalan dengan peluncuran taksonomi hijau Indonesia. Taksonomi hijau dapat diartikan sebagai klasifikasi sektor berdasarkan kegiatan usaha yang mendukung upaya perlindungan lingkungan hidup, serta mitigasi perubahan iklim.

Kehadiran taksonomi hijau setidaknya memiliki dua arti penting. Pertama, mendukung inovasi perumusan berbagai instrumen kebijakan bank sentral. Bank Indonesia akan mengembangkan instrumen rasio intermediasi makroprudensial hijau, penyangga likuiditas makrroprudensial hijau, serta rasio kredit/pembiayaan UMKM hijau.

Kedua, sebagai prasyarat utama harmonisasi bauran kebijakan keuangan hijau antar-otoritas. Dengan bahasa yang sama, derap langkah kebijakan makroekonomi, makroprudensial, dan mikroprudensial akan makin sinergis. Dengan semangat inovasi dan sinergitas di atas, kita patut optimis fungsi intermediasi perbankan Tanah Air akan mampu berkontribusi nyata dalam upaya penanganan perubahan iklim.

Di bawah komando Bank Indonesia dan anggota Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) lainnya, masyarakat menyelipkan sebuah harapan tunggal. Ketahanan sistem keuangan domestik dapat tetap terjaga sehingga mampu menghalau datangnya ‘angsa hijau’ di Indonesia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Remon Samora
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper