Bisnis.com, JAKARTA - Keputusan Bank Indonesia (BI) mempertahankan suku bunga acuan memberikan angin segar buat pemain industri pembiayaan (multifinance), terutama yang masih berproses menggalang dana sebagai bekal menjalankan bisnis di masa mendatang.
Sekadar informasi, multifinance menggalang dana dari pinjaman bank dan/atau penerbitan surat utang, mayoritas dengan tingkat bunga tetap, dalam rangka mempersiapkan bisnis penyaluran pembiayaan selama setahun ke depan.
Oleh sebab itu, era suku bunga rendah yang bertahan lama akan memberikan fleksibilitas bagi para pemain, terutama dalam penyesuaian margin keuntungan di setiap jenis pembiayaan yang tersalurkan kepada para debitur.
Perusahaan pembiayaan PT Mandiri Utama Finance (MUF) menjadi contoh multifinance anak usaha bank yang mengakui adanya potensi cuan besar dari berlanjutnya era suku bunga murah-meriah seperti saat ini.
Direktur Utama MUF Stanley Setia Atmadja menjelaskan potensi tersebut terutama lahir karena mayoritas sumber pendanaannya berasal dari pinjaman bank dengan pola executing, serta joint financing bersama induk usaha, PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. (BMRI).
"Tapi kami melihat tren ini bukan menguntungkan perusahaan pembiayaan soal fleksibilitas dalam penyesuaian margin semata, melainkan juga menciptakan benefit bagi debitur karena kesempatan mendapatkan angsuran murah masih terbuka. Saat ini NIM [net interest margin] kami masih di kisaran 7 persen," ujarnya kepada Bisnis, Rabu (27/7/2022).
Baca Juga
Stanley menjelaskan pendanaan dengan biaya dana atau cost of funds murah dari mitra perbankan bertujuan menghadirkan penawaran angsuran yang menarik bagi calon debitur. Harapannya, mendorong penetrasi penyaluran pembiayaan lebih luas di masa pemulihan pascapandemi Covid-19.
Senada, Direktur Utama PT BCA Finance Roni Haslim menjelaskan pada umumnya leasing anak usaha perbankan akan mengikuti pengenaan bunga kepada konsumen sesuai kebijakan induk usaha.
"Kami masih mengoptimalkan sinergi dengan induk usaha, sehingga NIM kami masih sangat aman. Sebab, sampai sekarang komposisi funding kami masih tetap sama, yaitu sekitar 90 persen dari joint financing dengan Bank BCA," jelasnya kepada Bisnis.
Potensi Diversifikasi Lewat Obligasi
Adapun, bagi multifinance yang telah mampu menerbitkan surat utang, langkah diversifikasi sumber pendanaan lewat penerbitan obligasi atau sukuk juga terbilang tepat di tengah kondisi terkini.
Analis Divisi Pemeringkatan Jasa Keuangan (Fi Ratings) PT Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo) Danan Dito menjelaskan strategi ini terutama demi mengantisipasi apabila bank hanya berani memberikan pinjaman dengan bunga murah-meriah secara terbatas dengan tenor pendek-menengah.
"Persiapan para pemain multifinance berpengalaman dalam penerbitan surat utang itu biasanya memakan waktu 2-3 bulan. Suku bunga acuan rendah ini memang bisa jadi momentum, karena tingkat bunga penawaran surat utang masih bisa ditekan secara maksimal sesuai rating masing-masing multifinance," ujarnya kepada Bisnis.
Selain itu, daya serap investor terhadap obligasi korporasi, terutama sektor pembiayaan, pun masih dalam tren terjaga. Sebab, dalam kondisi saat ini, instrumen investasi lain tengah dalam tren hanya bisa memberikan return mini.
"Namun perlu diingat, daya serap investor itu terbagi dua. Mayoritas memang bergairah, karena pilihan instrumen investasi dengan imbal hasil menarik saat ini masih sangat terbatas. Namun, ada juga tipe investor yang memilih strategi mengoleksi obligasi dengan menunggu suku bunga naik terlebih dahulu," ujarnya kepada Bisnis.
Salah satu multifinance senior dalam hal penerbitan surat utang, PT Adira Dinamika Multi Finance Tbk. (ADMF) sepakat bahwa era suku bunga murah memberikan fleksibilitas dalam hal strategi meraup pendanaan.
Direktur Utama Adira Finance I Dewa Made Susila menjelaskan bahwa fleksibilitas akhirnya membawa penyesuaian NIM dari setiap jenis pembiayaan, produk pembiayaan, dan tenor pembiayaan menjadi lebih mudah, sehingga ADMF bisa bertahan tetap kompetitif di mata calon debitur.
"Kondisi saat ini membawa efisiensi biaya bunga, terutama terkait dengan pendanaan baru. NIM kami bervariasi tergantung produk, karena juga menyesuaikan dengan kondisi persaingan di pasar. Tentunya, kami berusaha untuk tetap memberikan produk dan layanan yang terbaik sekaligus menarik buat konsumen," jelasnya kepada Bisnis.
Adira Finance tercatat terakhir kali menerbitkan surat utang pada awal tahun ini, lewat Obligasi Berkelanjutan V ADMF Tahap III Tahun 2022 sebesar Rp1,7 triliun sekaligus Sukuk Mudharabah Berkelanjutan IV ADMF Tahap III Tahun 2022 senilai Rp300 miliar.
"Penerbitan obligasi dan sukuk masih menjadi bagian strategi diversifikasi pendanaan. Kami masih melihat kondisi bisnis saat ini dan potensi kebutuhan pendanaan ke depannya. Per posisi Maret 2022, komposisi pinjaman bank sekitar 35 persen, sementara obligasi dan sukuk 65 persen dari total kebutuhan pendanaan," tambah Made.
PT Mandiri Tunas Finance yang telah merealisasikan penerbitan surat utang terbarunya pada awal tahun ini lewat Obligasi Berkelanjutan V MTF Tahap III Tahun 2022 senilai Rp1,2 triliun pun turut mengamini pendapat tersebut.
Sebagai informasi, obligasi ini merupakan bagian PUB Obligasi V MTF dengan total target dana yang akan dihimpun sebesar Rp5 triliun. Tahap I terealisasi sebesar Rp858 miliar pada 2020, sementara Tahap II terealisasi Rp1,4 triliun pada 2021.
"Untuk tahun ini MTF telah menerbitkan di Februari 2022 dan masih terdapat plafon sampai akhir 2022. Kami masih mempertimbangkan waktu yang tepat dalam rencana penerbitan berikutnya. Pertimbangannya bagaimana tren kebutuhan pembiayaan konsumen, dan urgensi diverifikasi sumber pendanaan selain dari pinjaman bank maupun joint financing," ungkap Direktur Keuangan MTF R. Eryawan Nurhariadi kepada Bisnis.
Sedikit berbeda, PT CIMB Niaga Auto Finance (CIMB Niaga Finance/CNAF) masih berencana menggelar penawaran sukuk perdananya dalam waktu dekat, kendati telah menggenggam margin signifikan dari pinjaman bank.
"Per Juni 2022 rasio NIM kami sekitar 11,44 persen. Hal ini didukung oleh sumber pendanaan dengan margin pembiayaan yang kompetitif, dari pembiayaan bersama dengan induk usaha, maupun fasilitas pinjaman bank," ungkap Presiden Direktur CIMB Niaga Finance Ristiawan Suherman.
Pria yang akrab disapa Aris ini menjelaskan bahwa penawaran bunga pembiayaan yang kompetitif harapannya ikut mendukung pemulihan ekonomi Indonesia, terutama kontribusi dari beragam transaksi di sektor otomotif yang notabene ikut didukung oleh CNAF.
Terkini, CNAF mengaku juga masih akan memperbesar komposisi pembiayaan bersama dan pinjaman bank, dengan komposisi terkini berada di angka 50:50 persen.
Adapun, rencana penerbitan sukuk sejalan sejalan dengan strategi pembiayaan CNAF lewat kampanye bertajuk 'Sharia First' yang dimulai sejak tahun lalu. Bahkan, kampanye ini membawa sekitar 60 persen dari total penyaluran pembiayaan CNAF sepanjang 2021 diambil oleh debitur pembiayaan berbasis syariah.
BOPO Industri
Sementara itu, potensi cuan industri pembiayaan juga tergambar dari statistik Otoritas Jasa Keuangan (OJK) per Mei 2022, di mana rasio beban operasional terhadap pendapatan operasional (BOPO) bertahan di 78,64 persen.
Sebagai perbandingan, BOPO industri sempat membengkak ke 80-90 persen selama periode pandemi, bahkan sempat menyentuh 92,5 persen pada Juni 2020. Dalam fase ini, potensi cuan pun hanya bisa diraup tipis-tipis, terutama dampak tuntutan peningkatan beban pencadangan dan beban bunga pendanaan sebelumnya yang masih tinggi.
Terkini, apabila dilihat dari komponen pembentuk total beban, tampak bahwa beban bunga pun dalam tren terus menurun di tengah beban-beban lain seperti beban terkait tenaga kerja dan beban pencadangan yang terbilang meningkat.
Hasilnya, laba sebelum pajak industri pembiayaan secara kumulatif per Mei 2022 senilai Rp8,91 triliun tercatat tumbuh 34 persen (year-on-year/yoy) ketimbang periode yang sama tahun sebelumnya.
Ketua Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI) Suwandi Wiratno memproyeksi bahwa apabila dalam waktu dekat suku bunga acuan akan naik sekalipun, BOPO industri terbilang aman karena para pemain telah diberi waktu cukup untuk mempersiapkan strategi pendanaan dengan cost of funds yang kompetitif.
"Kalau daya beli dan permintaan kredit terhadap barang konsumsi masih tinggi, BOPO akan aman-aman saja. Kecuali kalau Indonesia ikut-ikutan resesi, mungkin kinerja laba industri pembiayaan bisa goyang lagi," jelasnya.