Bisnis.com, JAKARTA – Pandemi Covid-19 telah menjadi blessing in disguise di lanskap industri perbankan nasional. Kehadirannya kini telah mempercepat tren digitalisasi di tiap perbankan, tak terkecuali bagi PT Bank Central Asia Tbk. atau BCA.
Armand Wahyudi Hartono, putra mahkota kelompok Djarum yang juga menjabat sebagai Wakil Presiden Direktur Bank BCA, mengatakan bahwa pandemi telah membuat perbankan berlomba-lomba mendigitalisasi layanannya. Dalam sekejap bank berjargon digital pun kian marak.
Hal ini tidak terlepas dari kehadiran pandemi Covid-19 yang membuat pertemuan tatap muka menjadi minim, sehingga mau tidak mau bank harus bertransformasi secara cepat untuk mengatasi kendala itu. Layanan digital lantas menjadi jawaban.
Pandemi juga telah membawa persaingan untuk memenangkan pasar di industri bank digital ke garis start baru. Potensi terbuka lebar. Bank yang sebelumnya nyaman dengan layanan konvensional, mulai berjibaku terjun ke arena persaingan itu.
Menurut Armand, kondisi dunia saat ini secara langsung memaksa industri perbankan untuk segera berinovasi terhadap layanannya. Di tengah kondisi terdesak inilah, BCA mulai bergerak lincah mengarungi tren digitalisasi perbankan di Tanah Air.
“Kami adalah perusahaan yang kepepet jadi harus banyak menggunakan digital,” ujar Armand dalam webinar bertajuk Transformasi Digital untuk Inovasi Berdampak, baru-baru ini.
Baca Juga
Terdesak oleh persaingan di industri perbankan digital, BCA melalui anak usahanya, PT Bank Digital BCA, merilis aplikasi blu pada 2 Juli 2021. Aplikasi ini hadir sebagai ekosistem bank digital tanpa kantor cabang (branchless) dan dapat diakses dari mana saja, kapan saja.
Bank Digital BCA merupakan hasil transformasi dari PT Bank Royal Indonesia. Adapun, BCA mengakuisisi Bank Royal pada November 2019 dengan nilai akuisisi mencapai Rp988 miliar.
“Kami sebagai perusahaan harus beranak, kami bikin BCA Digital dengan produk blu. Itu semuanya karena kami kepepet dan nasabah juga meminta. Selain itu, kompetisi juga dipaksa, akhirnya kepepet semua,” pungkasnya.
Melalui anak usahanya tersebut, BCA mulai mengarungi persaingan di arena bank digital. Modal inti BCA Digital yang semula berada di angka Rp1 triliun, ditingkatkan menjadi Rp4 triliun pada Oktober 2021 lewat suntikan modal sebesar Rp2,7 triliun.
Upaya itu dilakukan BCA demi memenangkan persaingan untuk menggarap sekitar 83 juta penduduk Indonesia yang masih kekurangan akses ke layanan keuangan atau perbankan alias unbanked. Apalagi, saat ini banyak bank digital yang didukung oleh investor kakap.
Semisal, PT Bank Jago Tbk. (ARTO) dengan ekosistem Gojek, PT Bank Neo Commerce Tbk. (BBYB) yang mendapat sokongan dari jejaring Alibaba di Indonesia, serta PT Allo Bank Indonesia Tbk. (BBHI) yang kini dikuasai oleh konglomerasi pengusaha Chairul Tanjung.
Di tengah persaingan ketat itu, BCA Digital melalui aplikasi mobile banking blu, mampu bercokol di posisi 5 besar sebagai bank digital paling populer di Indonesia. Raihan ini diperoleh berdasarkan laporan yang dilakukan oleh perusahaan riset berbasis digital, Populix.
Survei bertajuk Consumer Preference Towards Banking and e-Wallet Apps itu dilakukan secara daring melalui aplikasi Populix terhadap 1.000 responden berusia 18 – 55 tahun di Indonesia. Adapun, dari 1.000 responden tersebut, sebanyak 208 responden menggunakan digital banking.
Hasil survei itu pun menunjukkan bahwa blu ada di urutan kelima sebagai bank digital paling populer, yang digunakan oleh 25 persen responden. Bank digital ini masih kalah populer dibandingkan Bank Jago di urutan puncak, disusul Neobank, Jenius, dan SeaBank.
Meski demikian, blu masih lebih populer ketimbang Line Bank, TMRW, Digibank, PermataME, dan Allo Bank. Pertumbuhan blu memang tergolong pesat. Dalam usianya yang baru menginjak satu tahun, blu tercatat telah melayani 806.000 pengguna.
KINERJA BCA DIGITAL
Kendati memiliki popularitas yang cukup mentereng, kinerja BCA Digital sampai dengan paruh pertama tahun ini masih diselimuti kerugian. Berdasarkan laporan keuangannya, BCA digital membukukan rugi bersih tahun berjalan senilai Rp36,21 miliar pada semester I/2022.
Kerugian tersebut naik 82 persen secara tahunan (year-on-year/yoy) dari periode Juni 2021 yang merugi Rp19,91 miliar. Kondisi ini kontras dengan induk usaha perseroan, yakni BBCA yang secara konsolidasi meraup laba bersih sebesar Rp18,05 triliun atau naik 24,9 persen yoy.
Direktur Utama BCA Digital Lanny Budiati menjelaskan kerugian itu disebabkan besarnya kebutuhan biaya membangun infrastruktur. Faktor lainnya antara lain pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) dan pertumbuhan pinjaman, diikuti dengan kebutuhan biaya untuk promosi dan operasional, serta inovasi pengembangan produk.
“Kami masih perlu observasi perjalanan BCA Digital lebih panjang lagi untuk dapat membuat perhitungan lebih lanjut mengenai pertumbuhan laba rugi bank, termasuk menyiapkan berbagai strategi ke depannya,” kata Lanny kepada Bisnis beberapa waktu lalu.
Dia juga menyatakan hingga akhir tahun 2022, BCA Digital diperkirakan tetap membukukan kerugian karena masih berkutat dengan kebutuhan pengembangan dan strategi.
Namun, ke depan, perusahaan akan lebih fokus pada sejumlah agenda prioritas. Mulai dari meningkatkan customer based yang berkualitas, mengembangkan produk untuk menjawab kebutuhan nasabah dan masyarakat, serta menghasilkan pendapatan bagi perusahaan.
Selain itu, BCA Digital juga bakal meningkatkan kenyamanan, keamanan, dan kemudahan bagi nasabah dalam bertransaksi melalui pengembangan layanan, infrastruktur, dan produk blu beserta ekosistem digitalnya.
“Seiring dengan kokohnya fundamental perusahaan, dan meningkatnya kepercayaan serta jumlah nasabah BCA Digital, kami yakin profit dan keberlanjutan perusahaan akan dapat tercapai dengan baik,” tutur Lanny.