Bisnis.com, JAKARTA — Kenaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) Pertalite, Pertamax, dan Solar dikhawatirkan berdampak pada kualitas kredit yang disalurkan perbankan.
Kenaikkan BBM akan diikuti dengan kenaikkan harga-harga barang dan suku bunga, yang membuat beban debitur semakin berat dalam membayar cicilan.
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan salah satu dampak dari kenaikkan harga BBM adalah meningkatnya risiko kredit macet. “Perbankan akan sangat berhati-hari menyalurkan kredit. Jadi pertumbuhan kredit yang sekarang sudah dalam tahap pemulihan cukup bagus, mungkin bisa terkoreksi,” kata Bhima, Minggu (4/9/2022).
Adapun NPL net perbankan tercatat sebesar 0,8 persen dan NPL gross pada level 2,86 persen pada paruh pertama 2022. NPL gross itu membaik dibandingkan dengan posisi Juni 2021 di level 3,24 persen dan pada Desember 2021 di level 3,0 persen.
Selain penyaluran dan kualitas kredit, lanjut Bhima, kenaikkan harga BBM yang akan memicu inflasi, juga akan berdampak pada likuiditas yang semakin ketat.
Dana pihak ketiga (DPK) perbankan untuk segmen di bawah Rp1 miliar, menurutnya, kemungkinan akan terganggu. Masyarakat akan menarik uang dan membelanjakan dana yang ada untuk memenuhi kebutuhan sehari-sehari, seiring dengan naiknya harga barang-barang nanti.
Baca Juga
Sementara itu, lanjutnya, untuk deposan kakap akan bergantung pada respons dari perbankan di tengah kondisi seperti saat ini. Deposan kakap berpotensi mengalihkan uang mereka dari bank ke instrumen yang lebih menguntungkan agar dana mereka tidak tergilas oleh inflasi.
“Di sisa 2022 deposan kakap menunggu tingkat suku bunga perbankan apakah menarik dengan kenaikkan suku bunga acuan,” kata Bhima.
Sekadar informasi, Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 22-23 Agustus 2022 lalu memutuskan untuk menaikkan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 25 bps menjadi 3,75 persen, suku bunga Deposit Facility sebesar 25 bps menjadi 3,00 persen, dan suku bunga Lending Facility sebesar 25 bps menjadi 4,50 persen. Rasio kredit bermasalah (Non Performing Loan /NPL) pada Juni 2022 tercatat 2,86 persen (bruto) dan 0,80 persen (neto).
Keputusan kenaikan suku bunga tersebut sebagai langkah pre-emptive dan forward looking untuk memitigasi risiko peningkatan inflasi inti dan ekspektasi inflasi akibat kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) nonsubsidi. Artinya, kenaikkan tersebut belum mempertimbangkan kenaikkan BBM subsidi seperti saat ini.
Pemerintah pada Sabtu (3/9/2022) menaikkan BBM subsidi Pertalite menjadi Rp10.000 per liter dari Rp7.650. Kemudian Pertamax naik menjadi Rp14.500 per liter dari Rp12.500 dan Solar subsidi naik menjadi Rp6.800 per liter dari Rp5.150 per liter.
Senada, Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Abdul Manap Pulungan mengatakan kenaikkan harga BBM akan berimbas pada DPK perbankan. Sejumlah masyarakat akan mengalihkan dana simpanan mereka tabungan untuk kebutuhan sehari-hari.
DPK perbankan juga akan dipengaruhi oleh lelang SBN ritel pemerintah, yang menawarkan imbal hasil menarik.
Kenaikkan BBM juga akan berdampak pada suku bunga acuan. Kenaikkan suku bunga acuan akan diikuti oleh kenaikkan suku bunga simpanan dan pinjaman.
“Kenaikkan suku bunga acuan sangat sensitif, mempengaruhi perbankan. Berbeda ketika suku bunga acuan diturunkan,” kata Abdul.
Adapun dampak kepada kualitas kredit, menurutnya, hanya terjadi untuk beberapa sektor saja. Sektornya berbasis konsumen seperti telekomunikasi, makanan dan minuman, menurut Abdul, tidak terdampak.
Sektor UMKM cukup sensitif terhadap kenaikkan BBM, karena UMKM masih menggunakan BBM untuk operasional sehari-hari.
Sementara itu Ekonom PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. (BMRI) Faisal Rachman mengatakan kenaikkan BBM akan mendorong kenaikan inflasi umum ke kisaran 6,27 persen tahun ini dan inflasi inti ke atas target range.
Kondisi tersebut akan mendorong Bank Indonesia untuk menaikkan suku bunga acuan atau BI7DRRR sebesar maksimal maksimal 100 bps ke 4,75 persen pada sisa 2022.
Angka tersebut lebih tinggi dibandingkan asumsi awal BMRI yang sebesar 50 bps ke 4,25 persen sebelum adanya kenaikan BBM bersubsidi. Faisal juga melihat, kenaikan inflasi yang berlanjut ke semester I/2022 juga bakal membuka peluang BI untuk melanjutkan kenaikan suku bunga acuan pada awal 2023.