Bisnis.com, JAKARTA — Sektor jasa keuangan non-bank di Tanah Air, terutama asuransi dan pembiayaan atau multifinance, masih menarik buat investor asing seiring potensi pertumbuhan bisnis yang masih terbuka lebar.
Sebagai gambaran, dalam industri asuransi umum, raksasa teknologi China, Sea Ltd. baru saja mengakuisisi PT Asuransi Mega Pratama dan mengubahnya menjadi PT Asuransi Umum Seainsure.
Sementara di industri pembiayaan, aksi korporasi terbaru berasal dari akuisisi lembaga keuangan asal Korea Selatan, Woori Card Co Ltd. terhadap PT Batavia Prosperindo Finance Tbk. (BPFI), dan mengubahnya menjadi PT Woori Finance Indonesia Tbk.
Senior Faculty Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) Amin Nurdin mengungkap bahwa fenomena ini menandakan potensi bisnis sektor keuangan non-bank yang belum tergarap di Indonesia masih sangat luas.
"Bank dan lembaga keuangan non-bank di Indonesia akan selalu jadi incaran investor asing, karena populasi di Indonesia begitu besar, dengan jumlah penduduk hingga 277 juta dan 60 persen di antaranya masih belum terjamah layanan lembaga keuangan konvensional," ujarnya ketika dikonfirmasi Bisnis, Kamis (15/9/2022).
Selain itu, asing cenderung melihat sektor jasa keuangan di Indonesia belum menerapkan teknologi secara penuh dan optimal, baik karena keterbatasan modal, maupun akibat hambatan teknis lain-lain. Padahal, masyarakat atau calon konsumen di Indonesia terbilang semakin siap dan adaptif terhadap perkembangan teknologi.
Baca Juga
"Oleh karena itu, investor asing biasanya bukan sekadar menyuntik modal, tapi juga memaksimalkan transfer pengetahuan, sumber daya, dan alih teknologi, karena upaya ini akan membuka berbagai potensi bisnis baru secara jangka panjang di Indonesia," tambahnya.
Anggota Dewan Komisioner sekaligus Ketua Dewan Pengawas Industri Keuangan Non-Bank (IKNB) OJK Ogi Prastomiyono mengamini bahwa industri perasuransian di Tanah Air masih menarik buat investor asing.
Pasalnya, saat ini penetrasi asuransi terhadap jumlah penduduk masih rendah, kontribusi terhadap produk domestik bruto (PDB) pun terbilang mini, padahal Indonesia diproyeksikan naik kelas menjadi negara maju pada 2045.
"Seiring berjalannya waktu, kebutuhan akan proteksi pun terus meningkat. Jadi tidak aneh kalau banyak perusahaan asuransi global dan regional yang ingin masuk ke Indonesia. Tapi kita ada aturan, kalau mereka mau masuk, harus joint venture dengan kepemilikan maksimal 80 persen," ujar Ogi dalam diskusi terbatas bersama media beberapa waktu lalu.
Sementara itu, Kepala Departemen Pengawasan Industri Keuangan Non-Bank (IKNB) 2B Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Bambang W Budiawan mengungkap bahwa ketertarikan investor asing justru menjadi berkah buat perusahaan pembiayaan yang masih kurang modal, namun punya potensi.
Sebagai gambaran, saat ini jumlah multifinance yang belum memenuhi ketentuan permodalan tersisa 15 dari 155 perusahaan.
"Sebagian perusahaan pembiayaan [bermasalah] tersebut masih dalam tahap pemenuhan ketentuan permodalan dengan melibatkan investor asing. OJK masih bisa menunggu, karena telah sesuai dengan rencana penyehatan yang sebelumnya mereka ajukan kepada kami, dan mungkin tinggal mencocokkan harga saja. Investornya dari Singapura dan Korea Selatan," jelasnya ketika ditemui Bisnis beberapa waktu lalu.
Pasalnya, Bambang melihat upaya suatu multifinance memperkuat permodalan lewat merger atau konsolidasi dengan multifinance lain terbilang sulit, karena faktor teknis dan perbedaan visi pendiri. Oleh sebab itu, suntikan modal dari investor asing pun menjadi jalan yang paling memungkinkan.
"Menyatukan dua kepala itu susah. Misalnya, kemarin ada dua multifinance lokal yang dipertemukan. Satu mau memberikan pinjaman kecil-kecil buat warung atau UMKM, satu lagi punya background jualan mobil. Akhirnya, tidak cocok. Jadi sudah tidak bisa kami memaksa seperti era pembenahan industri perbankan zaman dahulu," tambahnya.