Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Bank Mandiri (BMRI) dan BNI (BBNI) Pede Bisa Tahan Dampak Resesi Global

Sebelumnya OJK menyatakan resesi global sudah pasti terjadi setidaknya pada 2023 atau bahkan bisa lebih cepat.
Gedung Bank Mandiri/Istimewa
Gedung Bank Mandiri/Istimewa

Bisnis.com, JAKARTA – PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. (BMRI) dan PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. (BBNI) optimistis kinerja intermediasi masih dapat tumbuh stabil meski di tengah bayang-bayang resesi global. Sejumlah langkah disiapkan untuk mempertahankan pertumbuhan tahun ini.

Direktur Treasury & International Banking Bank Mandiri Panji Irawan mengatakan fungsi intermediasi perbankan yang masih melaju pada awal kuartal III/2022 menjadi salah satu faktor keyakinan tersebut. data mencatat kredit perbankan masih tumbuh 10,62 persen secara tahunan (year-on-year/yoy). 

“Kualitas aset perbankan juga cukup stabil, terlihat dari rasio non-performing loan [NPL] industri terjaga di level 2,9 persen pada bulan Juli 2022,” kata Panji, Selasa (4/10/2022).

Sementara itu, kinerja keuangan emiten bersandi BMRI ini terbilang baik. Pada kuartal II/2022 aset perseroan naik 13 persen yoy dengan kualitas yang terjaga.

Kenaikan itu disokong oleh penyaluran kredit yang tumbuh 12,2 persen yoy. Adapun dana pihak ketiga (DPK) Bank Mandiri naik 12,8 persen yoy, lebih tinggi dibandingkan rata-rata industri perbankan,yakni 9,1 persen yoy.

“Dengan berbagai inisiatif dan modal infrastruktur yang kami miliki, kami optimis kinerja Bank Mandiri akan terus membaik di tahun 2022 dan tetap stabil di tahun 2023, meski di tengah maraknya risiko dan ketidakpastian global serta normalisasi kebijakan domestik,” pungkasnya.

Panji menyampaikan untuk menjaga pertumbuhan, perseroan akan terus melanjutkan transformasi digital dengan meningkatkan transaksi wholesale dan ritel melalui penguatan layanan digital Livin’ by Mandiri serta Kopra by Mandiri.

Terpisah, Sekretaris Perusahaan BNI Okki Rushartomo menuturkan tren pertumbuhan ekonomi pada semester II/2022 masih berjalan positif. Menurutnya, konsensus lembaga-lembaga dunia masih meyakini Indonesia mampu tumbuh 5,1–5,4 persen.

“Hal tersebut menjadi energi positif bagi kredit perbankan secara general [umum]. Kualitas kredit BNI pun berada pada level yang baik,” tutur Okki.

Dia menambahkan hal itu terlihat dari loan at risk (LAR), termasuk kredit yang tengah direstrukturisasi BBNI kini berada di bawah 20 persen dari total kredit. Jumlah ini menurun dibandingkan puncaknya pada Desember 2020 yang sebesar 28,7 persen.

Selain itu, rasio NPL dari emiten berkode saham BBNI ini turun dari 3,7 persen per Desember 2021 menjadi 3,2 persen pada Juni 2022.

Okki menyatakan BBNI fokus pada penyaluran kredit di sektor-sektor prioritas, yang memiliki daya tahan baik seperti pertanian, industri makanan minuman, serta industri yang akan menopang pemulihan ekonomi seperti perdagangan besar dan eceran.

Sebelumnya Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Mahendra Siregar menyatakan bayang-bayang resesi ekonomi global di tahun 2023 sangat nyata. Dia mewanti-wanti kekhawatiran resesi juga kemungkinan akan terjadi lebih cepat dari perkiraan.

“Saya rasa memang kita paham bahwa resesi global hampir pasti akan terjadi, setidaknya pada 2023. Kalau tidak lebih cepat dari itu,” katanya.

Akan tetapi ada beberapa hal yang belum dapat diprakirakan, yakni seberapa berat kondisi resesi dan berapa lama resesi tersebut akan terjadi. Meski demikian, Mahendra optimistis pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun ini dan 2023 akan tetap di atas 5 persen.

Dalam upaya menjaga kinerja bank, Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Dian Ediana Rae menyatakan pihaknya saat ini sedang melakukan analisis akhir terkait dengan perpanjangan program restrukturisasi. Sebagaimana diketahui, program relaksasi bagi debitur perbankan itu akan berakhir pada Maret 2023.

Dian menuturkan bahwa masih ada beberapa komponen yang dipertimbangkan OJK sebelum menetapkan keputusan final. Meski demikian, kemungkinan besar program akan kembali diperpanjang karena mempertimbangkan situasi ekonomi saat ini.  

OJK sampai saat ini belum dapat menyampaikan detail teknis terkait keputusan tersebut. Namun, yang dapat dipastikan, program restrukturisasi akan menyasar sektor-sektor yang masih kesulitan untuk pulih.

“Tentu sekarang kami mempertimbangkan tidak lagi cross the board tetapi kami betul-betul targeted secara sektor, secara geografis, dan juga secara krediturnya. Kami tentu tidak ingin kebijakan normalisasi kredit ini kemudian membahayakan pertumbuhan perekonomian dan mandat kami jelas untuk menjaga stabilitas keuangan,” tutur Dian.

Dalam catatan OJK, profil risiko perbankan pada Agustus 2022 masih cukup terjaga dengan rasio NPL net sebesar 0,79 persen, sementara secara gross mencapai 2,88 persen.  Sementara itu, kredit restrukturisasi Covid-19 kembali mencatatkan penurunan sebesar Rp16,77 triliun menjadi Rp543,45 triliun per Agustus 2022.

Jumlah nasabah restrukturisasi juga turun menjadi 2,88 juta dari posisi Juli yang sebesar 2,94 juta nasabah. Dengan perkembangan tersebut, nilai restrukturisasi Covid-19 dan jumlah nasabah masing-masing telah turun sebesar 34,56 persen secara tahunan dan 57,90 persen dari titik tertingginya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Dionisio Damara
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper