Bisnis.com, BALI – Badan Penyelenggara Jaminan Sosial atau BPJS Kesehatan akan menganggarkan dana senilai Rp8 triliun pada 2023 untuk biaya medical check-up atau screening masyarakat terkait penyakit gula darah, kolesterol, dan hipertensi.
Direktur Utama BPJS Kesehatan Ali Ghufron Mukti menekankan bahwa rencana anggaran dana tersebut terlebih dahulu harus meminta persetujuan dari Kementerian Keuangan.
"Yang jelas, pada 2023, kami anggarkan sekitar Rp8 triliun tambahan untuk screening dan akibat screening [kesehatan]. Kalau orang terdeteksi [penyakit] karena di-screening, mesti dilayani," kata Gufron dalam acara Media Workshop BPJS Kesehatan, Rabu (12/10/2022).
Ghufron mengatakan bahwa anggaran senilai Rp8 triliun itu guna membantu Kementerian Kesehatan, terutama yang berkaitan dengan proses screening. Pasalnya, kata Ghufron, mayoritas masyarakat Indonesia belum mengetahui bahwa dirinya sakit. Maka dari itu, dengan diadakannya proses screening, maka penyakit akan terdeteksi.
"Kalau kasus ketemu [pasca screening], kan enggak bisa dibiarin, harus dilakukan pengobatan, dirawat, dan sebagainya. Ini [anggaran Rp8 triliun] semua tidak hanya untuk screening tapi juga untuk merawat dan ini memerlukan biaya," jelasnya.
Adapun, rencana anggaran tersebut juga telah diperhitungkan dengan kasus yang saat ini terjadi, seperti penyakit jantung dan pembuluh darah. Selain itu, pihaknya juga memperhitungkan akumulasi dari tambahan biaya screening dan perawatan pasien baru.
Baca Juga
Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 dan 2018 menunjukkan tren peningkatan penyakit jantung, yakni 0,5 persen pada 2013 menjadi 1,5 persen pada 2018. Tak hanya itu, data BPJS Kesehatan pada 2021 juga menunjukkan bahwa penyakit jantung menjadi beban biaya terbesar, yakni Rp7,7 triliun.
Sebelumnya, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan bahwa BPJS Kesehatan akan menanggung biaya screening kesehatan masyarakat seperti gula darah, tekanan darah, dan darah tinggi mulai tahun depan.
KINERJA BPJS KESEHATAN
Sepanjang 2021, BPJS Kesehatan mencatatkan surplus aset netto dana jaminan sosial kesehatan mencapai Rp38,76 triliun. Kondisi ini berbanding terbalik dengan tahun-tahun sebelumnya yang masih membukukan defisit senilai Rp5,69 triliun pada 2020 dan defisit Rp51 triliun pada 2019.
Secara terperinci, pendapatan iuran BPJS Kesehatan tumbuh 2,48 persen secara tahunan (year-on-year/yoy) menjadi Rp143,32 triliun, dari sebelumnya bernilai Rp139,85 triliun pada 2020.
Di samping itu, BPJS Kesehatan juga memperoleh pendapatan dari kontribusi pajak rokok senilai Rp1,08 triliun pada tahun lalu. Di sisi lain, beban jaminan kesehatan tercatat menyusut 5,42 persen yoy menjadi Rp90,33 triliun. Dengan kinerja tersebut, BPJS Kesehatan mampu membukukan surplus tahun berjalan senilai Rp44,45 triliun.