Bisnis.com, JAKARTA – Rasio kredit bermasalah atau non-performing loan (NPL) di industri perbankan diproyeksikan meningkat pada kuartal IV/2022. Hal ini diakibatkan oleh kenaikan suku bunga acuan Bank Indonesia yang kini bertengger di level 4,75 persen.
Direktur Strategi, Keuangan dan SPAPM Bank CIMB Niaga Lee Kai Kwong mengatakan bahwa kenaikan suku bunga acuan atau BI-7 Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) akan direspons perbankan dengan menaikkan suku bunga dasar kredit secara bertahap pada akhir 2022.
Lee menambahkan bahwa peningkatan suku bunga acuan bakal menyebabkan NPL perbankan sedikit meningkat pada akhir tahun ini. Namun, kondisi itu akan membaik pada 2023.
“Kenaikan suku bunga akan memberikan dampak terhadap NPL, di mana kami perkirakan NPL akan sedikit naik pada kuartal IV/2022. Namun, kami perkirakan kembali membaik pada 2023 ke level yang lebih sustainable seiring membaiknya kondisi perekonomian,” ujarnya dalam paparan publik CIMB Niaga, pekan lalu.
Untuk menghadapi dampak kenaikan suku bunga acuan, CIMB Niaga akan meningkatkan porsi dana murah (current account saving account/CASA) agar biaya dana tetap kompetitif. Selain itu, perseroan juga akan menyesuaikan suku bunga kredit supaya margin bunga bersih terjaga.
Di sisi lain, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat risiko kredit melanjutkan penurunan baik industri perbankan maupun pembiayaan pada September 2022. Hal ini didukung oleh likuiditas yang memadai dan permodalan yang kuat.
Baca Juga
Ketua Dewan Komisioner OJK Mahendra Siregar menyampaikan bahwa NPL gross perbankan per September 2022 terpantau turun menjadi sebesar 2,78 persen, sementara rasio NPF perusahaan pembiayaan turun ke level 2,58 persen.
Adapun rasio alat likuid/non-core deposit (AL/NCD) berada di level 121,62 persen dan alat likuid/DPK di level 27,35 persen sampai dengan kuartal III/2022. Sementara itu, rasio kecukupan modal (capital adequacy ratio/CAR) mencapai 25,12 persen.
Di tengah stabilitas tersebut, Mahendra menyatakan bahwa OJK tetap terus mencermati sekaligus memitigasi potensi risiko yang dapat berdampak terhadap kinerja industri keuangan.
Menurutnya, kenaikan tren kenaikan suku bunga acuan bank sentral global, yang disertai penguatan dolar AS hingga volatilitas harga komoditas, dapat memengaruhi kinerja lembaga jasa keuangan dari sisi portofolio investasi, likuiditas, risiko kredit, dan fungsi intermediasi.
“Dalam rangka menjaga stabilitas sistem keuangan di tengah meningkatnya risiko eksternal, OJK akan proaktif memperkuat kebijakan prudensial di sektor jasa keuangan dalam menjaga stabilitas industri jasa keuangan,” pungkas Mahendra.