Bisnis.com, JAKARTA - Thamrin Nine Ballroom, Sudirman, Jakarta Pusat, adalah gedung yang megah dan indah. Lantai keramiknya mewah. Gedung ini biasa dipakai untuk berbagai acara peluncuran produk dan seremoni.
Di gedung ini, Lanny Budiarti berbicara tentang pertumbuhan bisnis BCA Digital, inovasi ke depan, dan nasabah saldo nol rupiah cuma jadi beban bagi bank digital. Sehari berselang, pernyataan Lanny soal nasabah nol rupiah viral di media sosial.
Di Twitter dan Instagram, ucapan Direktur Utama BCA Digital itu, mendapat ratusan respons yang beragam dari warganet. Kebanyakan responsnya menghibur.
“Beban keluarga, NO. Beban bank, YES!” tulis salah satu akun di Instagram Bisnis.com.
Lantas, apa benar dengan makin banyak nasabah dengan saldo nol rupiah, makin besar pula beban yang ditanggung oleh bank digital?
Dari sisi teknologi, Ketua Umum Indonesian Digital Empowering Community (Idiec) M. Tesar Sandikapura mengatakan setiap terjadi penambahan jumlah nasabah atau pengguna layanan berbasis internet, perusahaan atau bank tersebut perlu meningkatkan investasi di infrastruktur teknologi informasi (IT) untuk menjaga performa aplikasi. Meskipun nasabah itu tidak melakukan transaksi.
Tanpa adanya peningkatan kapasitas, layanan perbankan yang mengelola miliaran hingga triliunan rupiah per bulan, berisiko mengalami gangguan ketika trafik sedang tinggi. Bank tidak hanya perlu menambah melipatgandakan kapasitas server, juga harus menambah kapasitas jaringan/ bandwidth, sistem keamanan, hingga aplikasi.
“IT itu ada 7 layer. Jadi tidak bisa hanya diperkuat di satu titik. Misal, bank punya server besar, tetapi bandwidth-nya kecil, maka berisiko gangguan karena bandwidth kecil atau sebaliknya,” kata Tesar, Selasa (22/11/2022).
Menurut Tesar, secara hitungan kasar, satu buah web server dapat menampung 1.000 akun. Apakah jika jumlah nasabah bank mencapai 1 juta akun, bank harus menyiapkan 1.000 web server? Menurut Tesar, hal tersebut tergantung dari kebijakan masing-masing bank. Perbankan membutuhkan investasi yang sangat besar jika menggunakan rasio 1:1.
Dalam kondisi ini, bank harus dapat berhitung dan memprediksi kapasitas yang dibutuhkan, agar ongkos yang mereka keluarkan tidak terlalu besar, tetapi layanan tetap terjaga.
Tesar sependapat dengan Lanny. Nasabah pasif, hanya akan menambah beban bank. Nasabah pasif membuat bank seakan-akan terlihat memiliki banyak nasabah, Padahal, yang menggunakan layanan IT bank secara aktif atau rutin setiap minggu/bulan hanya sedikit.
Perumpamaannya, bank menyiapkan bus yang dapat menampung 50 orang, namun hanya terisi (pengguna aktif) 10 orang. Maka akan ada 40 bangku kosong yang tidak terpakai.
Bank juga tidak bisa menyiapkan kapasitas yang mepet. Jumlah kapasitas yang disesuaikan dengan pengguna aktif saja berpotensi mengalami gangguan. Pasalnya, pengguna yang tidak aktif tersebut, sewaktu-waktu dapat menjadi nasabah aktif yang turut membebani infrastruktur IT perbankan.
Jika sistem IT sempit atau tidak longgar, lanjutnya, maka sistem IT berpotensi down.
Untuk mengatasi potensi lonjakan trafik, menurut Tesar, bank dapat menggunakan infrastruktur komputasi awan yang lebih fleksibel. Harus dipastikan penyedia layanan komputasi awan itu aman.
“Prinsip itu tidak hanya dipakai untuk server, juga di lapisan yang lain,” kata Tesar.