Bisnis.com, BANDUNG — Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyampaikan rata-rata rasio kredit macet (nonperforming loan/NPL) di industri bayar tunda alias paylater mendekati angka 8 persen, tepatnya di level 7,61 persen per September 2022.
Kepala Departemen Pengawasan Industri Keuangan Non-Bank (IKNB) 2B OJK Bambang W. Budiawan menuturkan bahwa rasio tersebut mendapat perhatian khusus dari regulator.
"Sejauh ini NPL secara industri BNPL [buy now pay later] mendekati angka 8 persen tersebut telah mendapat perhatian khusus oleh OJK," kata Bambang kepada Bisnis, Kamis (24/11/2022).
Sementara itu, jika dibandingkan dengan industri, rasio NPF netto paylater berada di posisi 2,58 persen per September 2022, turun dibandingkan Desember 2021 yang mencapai 3,53 persen.
Bambang mengatakan tidak hanya soal credit risk exposures. Namun, bisnis paylater juga jumlah pelanggan yang sangat signifikan. Oleh karena itu, kata Bambang, selain kinerja mitigasi risiko kredit, OJK concerns dengan bagaimana pemain-pemain BNPL menangani pengaduan-pengaduan konsumen dengan cepat dan efektif.
Di samping itu, Bambang menekankan bahwa industri buy now pay later juga harus memiliki sistem dan mekanisme pengaduan nasabah yang teruji.
"Bila belum, OJK tidak ragu-ragu untuk memberikan sanksi dan pembinaan, sehingga perkembangan bisnis paylater tetap tumbuh positif karena reputasi pemain-pemainnya responsif terhadap keluhan/pengaduan nasabah," ujarnya.
Adapun, hingga saat ini terdapat enam multifinance yang core business-nya Buy Now Pay Later seperti Commerce, Akulaku, Catur Nusa, Home Credit, FinAccel, dan Atome.
Di tengah kenaikan rasio kredit macet di industri ini, Bambang menilai bisnis BNPL tidak memerlukan regulasi khusus. Meski demikian, dalam hal pemberian persetujuan business line BNPL tetap harus disyaratkan lebih prudent, terutama pada tahap-tahap pre-screening dan akuisisi peminjam antara lain early fraud detection, pilihan segmen customer, dan credit risk profile.
"Harus diingat bahwa entry awal akurasi data-data calon nasabah ini kurang tepat, maka customer profiling-nya bisa jadi keliru. Pendek kata, kita kenal dengan istilah garbage in - garbage out," tutupnya.