Bisnis.com, JAKARTA — Bank Indonesia atau BI memperkirakan kenaikan suku bunga Federal Fund Reserve AS akan mencapai puncak pada kuartal I/2023 di 5 persen. Namun, jika terdapat peningkatan risiko, suku bunga itu bisa terus merangkak hingga 6 persen.
Gubernur BI Perry Warjiyo menilai bahwa kondisi ekonomi tahun depan memang penuh dengan ketidakpastian. Gejolak geopolitik pada tahun ini membawa efek inflasi yang tinggi, sehingga Federal Reserve atau The Fed meresponsnya dengan menaikkan suku bunga acuan.
Perry menilai bahwa tren suku bunga tinggi masih akan terjadi pada tahun depan, dan mungkin terjadi cukup lama. Dia memperkirakan bahwa kenaikan suku bunga The Fed masih akan terjadi hingga awal 2023.
"Federal Fund Rate akan mencapai puncaknya 5 persen kurang lebih sekitar kuartal I/2023," ujar Perry dalam seminar Proyeksi Ekonomi Indonesia 2023 yang diselenggarakan Indef pada Senin (5/12/2022) di Jakarta.
Meskipun begitu, BI tetap menilai adanya kemungkinan risiko meningkat sehingga membuat suku bunga The Fed bisa lebih tinggi. Apabila dampak dari perang Rusia dan Ukraina tidak mereda, kenaikan suku bunga The Fed bisa mencapai 5,25 persen.
Dalam kondisi yang lebih sulit, Perry menilai bahwa tingkat suku bunga mungkin lebih tinggi lagi menuju 6 persen. Namun, tentunya BI tidak mengharapkan hal tersebut terjadi.
Baca Juga
"Dengan upward risk [suku bunga The Fed] bisa ke 5,25 persen, bahkan ada beberapa ke 6 persen. Namun, skenario baseline kami 5 persen pada kuartal I/2022 dan akan stay longer sepanjang 2023," kata Perry.
Dia menyebut bahwa fenomena suku bunga yang masih tertahan tinggi cenderung akan menjaga nilai tukar dolar tetap kuat terhadap mata uang lain. Indonesia perlu mengantisipasi kondisi itu.
"Dolar pernah mencapai 114 indeksnya terhadap mata uang asing, menguat kurang lebih 25 persen [YoY], beberapa minggu ini mulai melemah indeks dolar sekitar 106. Namun, tentu saja ke depan dolar masih akan kuat tergantung tingginya inflasi, tingginya kenaikan FFR, dan tentu bagaimana Fed menimbang kenaikan suku bunga dengan risiko resesi," kata Perry.