Bisnis.com, JAKARTA – Direktur Utama PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. (BBNI) Royke Tumilaar mengatakan bahwa pengelolaan likuiditas secara baik akan menjadi faktor penting untuk menunjang ketahanan bank, dalam menghadapi ketidakpastian ekonomi pada tahun depan.
Pertumbuhan ekonomi global diperkirakan mengalami perlambatan pada 2023 akibat kenaikan harga energi dan komoditas pangan. Hal ini diiringi dengan inflasi tinggi, pengetatan moneter, eskalasi perang Rusia vs Ukraina, dan likuiditas keuangan global yang ketat.
Selain itu, tingkat permodalan yang kuat juga akan membantu bank untuk bertahan. BNI hingga kuartal III/2022 memperlihatkan permodalan yang kuat dan likuiditas yang memadai. Tecermin dari rasio kecukupan modal atau capital adequacy ratio (CAR) yang berada di level 18,9 persen dan loan to deposit ratio (LDR) berada di posisi 91,2 persen.
“Kami cukup siap secara fundamental, bottom line juga cukup bagus, dan kami melihat banyak peluang yang mungkin bisa diambil dalam situasi yang penuh tantangan,” ujarnya dalam acara Bisnis Indonesia Business Challenges (BIBC) 2023, Kamis (15/12/2022).
Di tengah bayang-bayang perlambatan ekonomi pada 2023, emiten bersandi saham BBNI ini berkomitmen melanjutkan transformasi. Langkah ini ditempuh untuk memosisikan perseroan sebagai bank yang lebih kompetitif.
Sementara itu, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) meyakini risiko yang dihadapi industri perbankan masih dapat dikendalikan dengan baik, meskipun kenaikan suku bunga acuan berpotensi mendorong peningkatan risiko kredit serta menimbulkan tekanan terhadap likuiditas.
Sampai dengan akhir Oktober 2022, otoritas mencatat kinerja perbankan masih terjaga, ditopang oleh risiko kredit yang menurun, likuiditas ample, dan permodalan yang masih cukup kuat.
Penurunan risiko kredit terlihat dari rasio kredit bermasalah (non-performing loan/NPL) yang secara net mencapai 0,78 persen dan 2,72 persen secara gross pada Oktober 2022.
Dari sisi likuiditas, rasio alat likuid/non-core deposit (AL/NCD) dan alat likuid/DPK (AL/DPK) masing-masing sebesar 130,17 persen serta 29,46 persen. Posisi tersebut jauh di atas ambang batas ketentuan masing-masing sebesar 50 persen dan 10 persen.
Sementara itu, rasio kecukupan modal atau capital adequacy ratio (CAR) tercatat meningkat menjadi 25,13 persen per Oktober 2022 atau dari posisi September yang sebesar 25,09 persen.
Wakil Ketua Dewan Komisioner OJK Mirza Adityaswara menyatakan bahwa lembaga jasa keuangan, termasuk perbankan harus memperkuat sistem permodalan dengan memerhatikan setoran dividen serta menyesuaikan pencadangan ke level yang lebih memadai.
Perkuat Pencadangan
Menurut Mirza, penguatan pencadangan perlu dilakukan perbankan sebagai upaya menghadapi ketidakpastian kondisi ekonomi global pada tahun depan.
Dia menuturkan kondisi Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN) perbankan terpantau melandai. Sampai dengan akhir September 2022, CKPN industri perbankan tercatat sebesar Rp362,9 triliun, atau turun Rp1,5 triliun secara bulanan.
“Kami mengimbau dan menyarankan perbankan harus melakukan pencadangan, untuk berjaga-jaga jika tahun 2023 situasinya memburuk,” tuturnya.
Menurutnya, hal tersebut penting untuk dipertimbangkan, mengingat proyeksi-proyeksi yang dikeluarkan oleh sejumlah lembaga internasional yang meramalkan tahun 2023 masih diselimuti oleh ketidakpastian ekonomi.
Sementara itu, terkait dengan risiko kredit, OJK juga meminta lembaga jasa keuangan untuk memberikan perhatian khusus terhadap sektor-sektor, yang dukungan kebijakan relaksasinya berakhir pada akhir Maret 2023.
OJK juga meminta kepada lembaga jasa keuangan agar melakukan uji ketahanan secara berkala untuk memitigasi risiko yang muncul akibat potensi pemburukan ekonomi. Pasalnya, otoritas melihat potensi pemburukan ekonomi masih cukup besar.
Dalam melakukan uji ketahanan, lembaga jasa keuangan diharapkan dapat memperhitungkan interkoneksi antarsektor, misalnya antara penyaluran kredit atau pembiayaan dengan pertanggungan asuransi pembiayaan.