Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Memahami Ancaman Resesi 2023, Begini Penjelasan Lengkap Ketua OJK Mahendra

Ekonomi global akan masuk pada periode resesi pada 2023 mendatang dan bahkan diperkirakan akan berlanjut pada tahun setelahnya.
Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Mahendra Siregar memberikan keterangan dalam konferensi pers triwulanan KSSK di Jakarta, Senin (1/8/2022). Dok: Youtube Kemenkeu
Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Mahendra Siregar memberikan keterangan dalam konferensi pers triwulanan KSSK di Jakarta, Senin (1/8/2022). Dok: Youtube Kemenkeu

Bisnis.com, JAKARTA - Bayang resesi global adalah kondisi paling menakutkan di perekonomian yang akan terjadi pada tahun depan, dan bahkan berlanjut pada 2024 mendatang. 

Mahendra Siregar, Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam Kuliah Umum di Universitas Hasanuddin menuturkan bayang resesi global sudah terlihat untuk 2023 dan kemungkinan berlanjut pada 2024. 

"Ada persoalan dalam perekonomian global yang memang tampaknya tidak mungkin terelakkan. Karena perekonomian global sudah terlalu lama dibanjiri dana yang sangat besar dan biaya sangat murah untuk menghadapi kelesuan perekonomian terhadap pandemi dan bahkan sebelumnya di negara maju," kata Mahendra dikutip Rabu, (21/12/2022). 

Dia menuturkan, dana besar untuk stimulus ekonomi ini pada akhirnya mendorong terjadinya inflasi. Saat bersamaan, kata Mahendra, gangguan rantai pasok bahan baku dan energi terganggu akibat ketegangan geopolitik. Seperti diketahui, dua sumber bahan baku dunia yakni Rusia dan Ukraina tengah terlibat perang sengit. Secara paralel konflik geopolitik antar kekuatan ekonomi China dan Amerika Serikat dan sekutunya juga meningkat.   

"AS dan China sudah ada usaha dekapling. Memisahkan diri dari rantai pasok yang sama. Ini sama sekali tidak optimal dalam perekonomian, dan menambah beban perekonomian global. Seberapa lama geopolitik ini akan menjadi risiko, para analis memperkirakan tidak akan selesai dalam 10 tahun ke depan," katanya. 

Fenomena uang mudah dan ketegangan geopolitik ini membawa inflasi ke level yang tidak diperkirakan sebelumnya. 

"Terjadi inflasi yang tidak pernah terjadi di negara maju, dan bahkan untuk Eropa [inflasi sudah] di atas 10 persen. [Sebagai perbandingan] Indonesia inflasi di atas 10 persen terjadi 15 tahun lalu, itupun sekali. Sebelumnya warisan reformasi awal. Sedangkan Eropa [inflasi tinggi terakhir] di awal 1980, mereka kembali inflasi tinggi setelah 45 tahun lalu. Maka bank sentral mengerek bunga yang sangat tinggi di sana, karena tingkat bunga tinggi maka uang jadi sulit baik transaksi maupun melakukan investasi," katanya menjelaskan. 

Dampak kenaikan bunga ini, bisnis yang tadinya kelebihan dana yang diikuti aktivitas ekonomi bergulir cepat langsung turun drastis. Kondisi ini, kata Mahendra yang mendorong negara Eropa menuju resesi.

"Kalau ini dalam sekali, ini bukan hanya soal ekonomi menjadi sosial politik. Padahal inflasi di sana belum turun juga [meski bank sentral sudah mengerek bunga]," katanya.

Kondisi Amerika Serikat tidak separah Eropa, namun inflasi juga mencetak rekor dengan posisi terakhir di level 7 persen. Kondisi ini setara kejadian 50 tahun yang lalu. 

"Dalam text book ekonomi maka tantangan makro ekonomi ada 2, apakah [menangani] inflasi, artinya [solusinya] meningkatkan bunga sehingga inflasi turun. Atau [pilihan lain] menghadapi resesi, sehingga [solusinya] menurunkan suku bunga dan ekonomi bergerak. Artinya naikkan suku bunga makin resesi, tidak naikkan suku bunga resesi naik terus. Ini suatu dilema yang luar biasa," kata Mahendra menjelaskan dilema dari sisi regulator. 

Tantangan ini makin besar, karena secara aturan bank sentral tidak memiliki kewenangan di dua sisi sekaligus yakni menghadapi inflasi atau memberi stimulus ekonomi. 

"Karena bank sentral tugas utamanya menghadapi inflasi bukan menanggulangi kelesuan ekonomi," jelasnya. 

Atas kondisi ini, Mahendra menyebutkan kebijakan stimulus ekonomi harus digerakkan oleh pemerintah. Sedangkan bank sentral terkonsentrasi di inflasi. 

"Terjadi kevakuman aturan di negara maju. Mereka [bank sentral] mengendalikan moneter, tetapi stimulan ekonomi riil tidak ada," katanya.  

Kondisi Indonesia Jauh dari Resesi

Saat ekonomi global kesulitan menghalau resesi, Mahendra menjelaskan kondisi Indonesia berada jauh lebih baik. Dia menjelaskan semua analis baik dari dalam negeri, internasional, lembaga multilateral memperkirakan ekonomi Indonesia tetap tumbuh baik tahun depan dan tahun depannya. [Tumbuh] sekitar 5 persen," katanya menjelaskan. 

Anomali ekonomi Indonesia dibandingkan negara maju ini, kata dia, karena negeri ini memiliki pasar dalam negeri dan pasar kawasan Asia Tenggara yang besar. Maka potensi ini harus dioptimalkan baik sisi konsumsi, investasi dan belanja pemerintah. 

"Dalam konteks sektor riil, maka sumber pertumbuhan berasal dari pembangunan di Indonesia. Sumber pertumbuhan berasal dari daerah selain bonus demografi. Ini sumber pertumbuhan yang tidak ada saingannya yang membuat Indonesia kuat daya tahan dirinya," katanya.

Atas lahirnya sumber pertumbuhan ekonomi baru ini, OJK kata Mahendra, berfungsi memastikan stabilitas sistem keuangan, mengawasi industri dari kacamata prudential, transparansi, perlindungan konsumen, market conduct, juga mendorong stimulus dan membantu dari daerah," katanya. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Anggara Pernando
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper