Bisnis.com, JAKARTA – Likuiditas menjadi tantangan bagi perbankan tahun depan. Sedangkan, dalam mengelola likuiditas, perbankan diketahui tidak hanya mengandalkan kredit dan pendanaan, tapi mengandalkan portofolio surat berharga negara (SBN).
Berdasarkan data Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), sejak awal 2022 hingga Agustus lalu, indikator likuiditas bank yakni loan to deposit ratio (LDR) tercatat mengalami kenaikan secara bertahap. Desember tahun lalu, misalnya, LDR bank berada di level 77,13 persen. Angka itu kemudian merangkak naik hingga mencapai 81,43 persen per Juli.
Namun, memasuki bulan Oktober 2022, LDR mulai turun terbatas ke level 79,90 persen. Bank Indonesia (BI) menetapkan posisi ideal LDR berada pada level 78 – 92 persen. Jika terlalu rendah, bank tidak efisien karena uang DPK nganggur, sementara apabila terlalu tinggi maka likuiditas bank ketat.
Meski realisasi LDR per Oktober lalu masih dalam batas ideal, tetapi LPS menilai likuiditas akan menjadi tantangan pada tahun depan. Sebab, perbankan akan berpacu menjaga likuiditasnya di tengah tren kenaikan suku bunga acuan Bank Indonesia atau BI-7 Day Reverse Repo Rate (BI7DRR).
Diketahui Rapat Dewan Gubernur BI pada 21–22 Desember 2022 telah menaikan suku bunga acuan 25 basis poin menjadi 5,50 persen. Besaran peningkatan itu juga terjadi pada suku bunga deposit facility yang menjadi 4,75 persen dan suku bunga lending facility 6,25 persen.
Kenaikan suku bunga acuan itu menjadi yang kelima kalinya ditetapkan BI sejak Agustus 2022 secara beruntun hingga bulan ini.
Baca Juga
Kiat BCA, BRI dan Mandiri Kelola Likuiditas
Perbankan pun dituntut lebih cekatan mengelola likuiditas mereka melalui berbagai cara.
PT Bank Central Asia Tbk. (BBCA), PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. atau BRI (BBRI), dan PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. (BMRI) mempunyai cara tersendiri dalam mengelola likuiditas. Tidak hanya mengandalkan kredit dan pendanaan, tapi juga SBN.
Executive Vice President Corporate Communication & Social Responsibility BCA Hera F. Haryn mengatakan bahwa penempatan dana pada instrumen surat berharga seperti SBN merupakan bagian dari strategi pengelolaan likuiditas serta mendukung perekonomian nasional di tengah tantangan terkini.
"Hal ini juga untuk menjaga keseimbangan antara kecukupan likuiditas dengan ekspansi kredit yang sehat," kata Hera kepada Bisnis pada Kamis (29/12/2022).
BCA mencatatkan penempatan surat berharga termasuk SBN pada Oktober 2022 sebesar Rp239,5 triliun, naik 5,41 persen secara tahunan (year on year/yoy). Meskipun, kredit BCA juga tumbuh ekspansif 12,6 persen yoy menjadi Rp681,4 triliun per Oktober 2022.
Upaya BCA dalam mengelola likuiditas yang salah satunya dilakukan melalui SBN ini seiring dengan tingkat likuiditas perseroan yang relatif longgar. BCA mencatatkan LDR 63,34 persen per kuartal III/2022.
Berbeda dengan BCA yang notabene merupakan bank swasta, kedua bank milik pemerintah yakni BRI dan Bank Mandiri mencatatkan penurunan portofolio surat berharganya masing-masing. BRI mencatatkan penurunan portofolio surat berharga termasuk SBN dari Rp363,7 triliun per Oktober 2021 menjadi Rp329,9 triliun per Oktober 2022.
Sekretaris Perusahaan BRI Aestika Oryza Gunarto mengatakan bahwa SBN memang merupakan salah satu portofolio bank untuk optimalisasi likuiditas selain penyaluran kredit.
"Pengelolaan SBN dilakukan sebagai salah satu strategi optimalisasi imbal hasil aktiva bank yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan pergerakan kondisi likuiditas bank dan pasar," kata Aestika kepada Bisnis pada Kamis (29/12/2022).
Namun, perseroan masih percaya diri untuk mengelola likuiditas dari kredit. Tercatat, kredit BRI tumbuh ekspansif 8,5 persen yoy per Oktober 2022 menjadi Rp1.018,7 triliun.
Percaya dirinya BRI dalam mengelola likuiditas melalui kredit juga seiring dengan rasio likuiditas perseroan yang lebih ketat dibandingkan BCA. BRI sendiri mencatatkan LDR di level 88,92 persen per September 2022.
Bank Mandiri juga mencatatkan penurunan nilai penempatan surat berharga dari Rp262,9 triliun per Oktober 2021 menjadi Rp260,1 triliun per Oktober 2022. Corporate Secretary Bank Mandiri Rudi As Aturridha mengatakan bahwa penempatan dana pada instrumen seperti SBN memang termasuk zero risk.
Namun, porsi penempatan di SBN ini tetap dilakukan dengan memperhatikan berbagai faktor, seperti ekses likuiditas yang tersedia, pertumbuhan kredit, hingga tren suku bunga. "Dengan demikian, porsi kepemilikan SBN Bank Mandiri bersifat dinamis seiring dengan pertumbuhan kredit, dana pihak ketiga (DPK), serta kondisi perekonomian," ujar Rudi.
Berbeda dengan portofolio surat berharga yang turun, kredit BMRI tumbuh ekspansif 12,1 persen yoy menjadi Rp906,8 triliun per Oktober 2022.
Sedangkan, posisi likuiditas Bank Mandiri juga relatif lebih ketat dibandingkan BCA. Per kuartal III/2022, BMRI mencatatkan LDR di level 83,18 persen.