Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nihil Kredit ke Startup dan Kripto, Bank di RI Aman dari 'Tsunami SVB'

Tsunami SVB menghantam semua sektor keuangan di dunia. OJK pun memastikan RI aman dari dampak SVB karena tidak ada kredit bank di startup dan kripto.
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Dian Ediana Rae./Tangkap Layar
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Dian Ediana Rae./Tangkap Layar

Bisnis.com, JAKARTA – Penutupan Silicon Valley Bank (SVB) oleh otoritas Amerika Serikat membawa dampak ‘tsunami finansial’ di penjuru dunia. Namun, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memastikan bank di Indonesia aman dari risiko kredit ke perusahaan rintisan (startup) dan kripto.

SVB bangkrut karena terimbas kenaikan suku bunga secara agresif. Federal Reserve (The Fed) menaikkan suku bunga acuan sejak tahun lalu untuk memerangi lonjakan inflasi. Kenaikan suku bunga merupakan momok menakutkan bagi perusahaan rintisan.

Pemodal berpaling untuk menambah investasi di startup. Akibatnya, perusahaan menarik dananya di SVB untuk memenuhi likuiditas. Satu sisi, suku bunga yang tinggi menyebabkan penurunan nilai obligasi jangka panjang yang dimiliki SVB dan bank lain.

Portofolio obligasi SVB senilai US$21 miliar menghasilkan rata-rata imbal hasil 1,79%, dibandingkan dengan imbal hasil US Treasury 10 tahun sekitar 3,9%. Pada Rabu (8/3) SVB telah mengumumkan menjual rugi surat berharganya.

Pada saat yang sama, perusahaan mengumumkan akan menerbitkan saham baru senilai US$2,25 miliar untuk menopang likuiditas. Hal itu memicu kepanikan di antara perusahaan modal ventura utama, dan menyarankan untuk menarik uang mereka dari SVB.

Esok harinya, Kamis (9/3) saham SVB anjlok, dan menyeret saham bank lain. Investor mulai takut akan terulangnya krisis keuangan 2007-2008. Pada Jumat (10/3) perdagangan saham SVB dihentikan.

Regulator California memutuskan menutup SVB, dan menempatkannya dalam pengawasan di bawah FDIC. Regulator perbankan AS, The Fed, dan Kementerian semula percaya diri penutupan SVB tidak berdampak serius pada sektor keuangan, seperti peristiwa 2008.

Namun, pada Sabtu-Minggu waktu setempat, kepanikan melanda sejumlah nasabah bank sehingga mengantre untuk menarik dana. Pemerintah AS pun mengumumkan menjamin total dana yang ditempatkan di bank untuk memberikan kepercayaan kepada nasabah.

Silicon Valley Bank (SVB) didirikan pada 1983. Bank yang terinspirasi dari ‘lembah Silicon’ itu memiliki spesialisasi pembiayaan perusahaan rintisan berbasis teknologi. Portofolio separuhnya dialokasikan ke perusahaan rintisan dan layanan kesehatan Amerika.

Meskipun relatif tidak dikenal di luar Silicon Valley, SVB masuk ke dalam 20 besar bank komersial di Amerika. Dengan total aset mencapai US$209 miliar pada akhir tahun lalu.

Runtuhnya SVB merupakan kejatuhan bank terbesar sejak peristiwa gagal bayar Lehman Brothers pada 2008. Bedanya, Lehman Brother terhempas krisis perumahan (subprime morgate), yang berdampak pada para warga Negeri Paman Sam.

Satu lagi, otoritas Amerika pun menutup Signature Bank. Bank yang berbasis di New York itu menjadi andalan deposan, terutama perusahaan kripto. Penutupan bank ini merupakan yang terbesar ketiga dalam sejarah perbankan AS, setelah Lehman dan SVB. 

Signature Bank melaporkan saldo deposito sebesar US$89,17 miliar atau Rp1.378 triliun per 8 Maret. Dana nasabah itu akan dijamin oleh Lembaga Penjamin Simpanan AS (FDIC).

Pernyataan OJK

Mensikapi penutupan SVB oleh FDIC OJK pun angkat bicara. Menurutnya, penutupan SVB tidak akan berdampak langsung terhadap industri perbankan Indonesia yang memiliki kondisi yang kuat dan stabil.

Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Dian Ediana Rae mengatakan penutupan SVB diperkirakan tidak berdampak langsung terhadap perbankan Indonesia yang tidak memiliki hubungan bisnis, facility line maupun investasi pada produk sekuritisasi SVB.

Selain itu, berbeda dengan SVB dan perbankan di AS umumnya, bank di Indonesia tidak memberikan kredit dan investasi kepada perusahaan technology startups maupun kripto.  

“Oleh karena itu, OJK mengharapkan agar masyarakat dan Industri tidak terpengaruh terhadap berbagai spekulasi yang berkembang di kalangan masyarakat,” kata Dian, dalam keterangan tertulis

Menurutnya, Indonesia setelah krisis keuangan 1998 telah melakukan langkah yang mendasar dalam rangka penguatan kelembagaan, infrastruktur hukum, dan penguatan tata kelola serta perlindungan nasabah yang telah menciptakan sistem perbankan yang kuat, resilien, dan stabil.

“Hal ini tercermin dari kinerja industri perbankan yang terjaga baik dan solid serta tetap tumbuh positif di tengah tekanan perekonomian domestik dan global yang selama ini berlangsung,” paparnya.

Pada saat ini, kondisi perbankan Indonesia menunjukkan kinerja likuiditas yang baik antara lain indikator likuiditas (AL/NCD dan AL/DPK) di atas threshold, yakni sebesar 129,64 persen dan 29,13 persen, jauh diatas ambang batas ketentuan masing-masing sebesar 50 persen dan 10 persen.

Dia menambahkan aset perbankan juga terjaga pada komposisi yang proporsional dengan komposisi dana pihak ketiga yang didominasi oleh dana murah yang semakin meningkat sehingga tidak sensitif terhadap pergerakan suku bunga.

Selain itu, tegasnya, saat ini tidak ada bank umum di Indonesia yang masuk dalam kategori ‘bank dalam resolusi’ yaitu bank yang mengalami kesulitan keuangan, membahayakan kelangsungan usahanya, dan tidak dapat disehatkan.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Hendri T. Asworo
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper