Bisnis.com, JAKARTA – Kebijakan Federal Reserve (The Fed) yang terlalu agresif dalam menaikkan suku bunga acuan menjadi biang kerok atas kebangkrutan bank di Amerika Serikat (AS), salah satunya Silicon Valley Bank (SVB).
Sebagaimana diketahui, Silicon Valley Bank (SVB), bank pemberi pinjaman komersial terbesar ke-16 di AS, mendadak bangkrut setelah mengalami bank runs, di mana nasabahnya menarik depositonya secara besar-besaran pada Jumat (10/3/2023).
Ekonom Bank Mandiri Faisal Rachman mengatakan bahwa runtuhnya SVB membuat para investor berspekulasi bahwa The Fed saat ini akan ragu-ragu menaikkan suku bunga sebesar 50 basis poin pada bulan ini.
Padahal, sebelumnya probabilitas kenaikan suku bunga The Fed masih tinggi, yang dipengaruhi oleh perkembangan data tenaga kerja yang membaik dan pernyataan hawkish dari beberapa pejabat The Fed.
“Kegagalan SVB menimbulkan spekulasi bahwa The Fed dapat mengambil pendekatan yang kurang agresif terhadap pengetatan kebijakan untuk menghindari risiko lebih lanjut terhadap sistem keuangan,” katanya, Selasa (14/3/2023).
Faisal menjelaskan, kenaikan suku bunga The Fed telah menjadi salah satu katalisator kejatuhan SVB. Suku bunga yang telah meningkat secara signifikan sejak tahun lalu menggerus portofolio SVB karena porsi penempatan obligasinya yang mencapai 55 persen. Secara umum, penempatan bank pada instrumen obligasi tidak lebih dari 30 persen.
Baca Juga
“Hal ini menjadi risiko besar awal SVB dan berlanjut menjadi lebih besar ketika mereka perlu mengumpulkan lebih dari US$2 miliar untuk menopang neraca keuangannya dan sentimen penarikan dana sebesar US$42 miliar dari para nasabah,” kata Faisal.
Dia mengatakan, langkah yang cepat oleh otoritas di AS setidaknya telah menenangkan pasar. The Fed menyatakan tengah membuat program pendanaan berjangka bank yang baru untuk melindungi institusi-institusi yang terpengaruh oleh volatilitas pasar dari kegagalan SVB.
Namun demikian, runtuhnya SVB turut menyeret turun kinerja saham industri perbankan di AS dan Eropa.
Berdasarkan perhitungan Reuters, saham-saham perbankan AS kehilangan nilai pasar sebesar US$100 miliar dalam dua hari terakhir. Sementara itu, bank-bank Eropa kehilangan sekitar US$50 miliar.
Adapun, penutupan SVB Financial merupakan kegagalan bank terbesar di AS sejak krisis keuangan. Hal itu menyebabkan sejumlah eksekutif industri keuangan dan investor khawatir kasus tersebut dapat menimbulkan efek domino pada bank-bank regional AS lainnya.
Indeks dolar AS tercatat terus mengalami pelemahan sejalan dengan pelemahan dolar AS terhadap sebagian besar mata uang global. Dengan perkembangan tersebut, tekanan di pasar uang berkurang seiring dengan berkurangnya probabilitas The Fed untuk menaikkan suku bunga acuan secara agresif.
Pada perdagangan Senin (13/3/2023), mata uang regional menguat 0,5-1,9 persen. Penguatan yang cukup tinggi terjadi pada mata uang won Korea sebesar 1,9 persen dan baht Thailand sebesar 1,4 persen.
“Runtuhnya SVB telah mendorong ekspektasi bahwa the Fed diperkirakan tidak akan terlalu agresif dalam menaikkan suku bunga,” kata Faisal.
Dia menambahkan, berdasarkan data FedWatch dari CME Group, pasar saat ini melihat The Fed hanya akan menaikkan suku bunga sebesar 25 basis poin pada bulan ini menjadi 4,75-5 persen, dari sebelumnya diperkirakan naik 50 basis poin.