Bisnis.com, JAKARTA - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) belum lama ini telah merilis aturan mengenai pemisahan atau spin off unit usaha syariah (UUS) di sejumlah sektor jasa keuangan, yaitu perusahaan penjaminan, asuransi dan reasuransi, serta perbankan.
Untuk batas waktu pemisahan UUS perusahaan penjaminan yaitu 2031, asuransi dan reasuransi pada 31 Desember 2026. Sementara, untuk UUS perbankan tidak ditetapkan jangka waktu spin off, melainkan parameter atau indikator kapan pemisahan harus dilakukan.
Ketentuannya yaitu apabila UUS telah memiliki 50 persen dari total aset induk dan/atau Rp50 triliun total aset yang dicapai, maka dapat mengajukan pemisahan atau spin off dalam jangka waktu paling lambat 2 tahun ke depan.
Salah satu perusahaan asuransi, yaitu PT Asuransi Asei Indonesia (Asuransi Asei) saat ini bersiap mengejar batas waktu pemisahan UUS yang tertuang dalam POJK Nomor 11/2023. Perusahaan milik negara ini terbuka dengan opsi konsolidasi pada awal 2026.
Kepala Unit Syariah Asuransi Asei Wahyudin Rahman menjelaskan bahwa nantinya metode yang akan dilakukan adalah pengalihan portofolio ke perusahaan yang telah ada atau baru didirikan sesuai kesepakatan pemegang saham.
“Kami tidak melalui spin-off, melainkan langsung pengalihan portofolio ke perusahaan yang telah ada atau baru karena lebih praktis dan meminimalisir biaya. Target konsolidasi Asei awal 2026,” ujar Wahyudin kepada Bisnis, Senin (28/8/2023).
Wahyudin menuturkan bahwa Asuransi Asei terus mendorong pertumbuhan industri syariah, salah satunya dengan aksi ini.
“Untuk Asei, kami menunggu arahan Indonesia Re dan Kementerian BUMN dan saat ini sedang membuka diskusi dengan anak usaha BUMN lain. Tentunya kami mendukung aksi ini karena lebih bermaslahat atau bermanfaat,” jelasnya.
Karyawan melayani nasabah di kantor PT Asuransi Asei Indonesia di Jakarta, Selasa (1/3/2022). Bisnis/Arief Hermawan P
Lebih lanjut, Wahyudin menilai keberadaan konsolidasi anak usaha BUMN yang menyelenggarakan usaha asuransi syariah sangat perlu.
Menurutnya, hal ini selaras dengan tujuan Kementerian BUMN untuk merampingkan anak usaha karena seluruhnya berada di pasar dengan segmentasi yang sama sebagai efisiensi.
Selain itu, lanjut dia, konsolidasi anak usaha pelat merah juga dinilai dapat meningkatkan kinerja industri asuransi syariah dengan memperbesar kapasitas asuransi syariah dari segi aset, ekuitas, kemampuan akseptasi, infrastruktur dan menghadapi AFAS tahun 2025
“Aksi konsolidasi ini juga telah dibuka melalui POJK 11/2023 dan perusahaan asuransi syariah besar juga telah tercantum dalam MEKSI 2019–2024 yang disusun oleh KNEKS,” ungkapnya.
Wahyudin menyebut bahwa saat ini ada enam perusahaan, yang terdiri dari satu full fledge dan lima usaha syariah asuransi umum, di bawah dekapan BUMN.
Sementara itu, salah satu bank milik negara, yaitu PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk. (BTN) masih menyiapkan sejumlah opsi untuk melalukan pemisahan atau spin off UUS, yaitu BTN Syariah.
Direktur Risk Management BTN Setiyo Wibowo sebelumya menyebutkan opsi yang akan dipilih merupakan yang paling efisien bagi perusahaan untuk mendirikan bank umum syariah (BUS). Saat ini, setidaknya ada 3 opsi untuk pemisahan BTN Syariah.
Pertama, BTN akan mendirikan perusahaan baru atau meminta lisensi baru untuk bank umum syariah. Opsi kedua, melakukan akuisisi BUS yang sudah ada untuk dijadikan cangkang BTN Syariah. Sementara, opsi ketiga sedang dikaji kemungkinan yang paling efisien.
Dia menambahkan, untuk opsi mengakusisi BUS, Bank BTN telah melakukan penjajakan dengan beberapa bank syariah yang ada dan terus berkomunikasi untuk mendapatkan penawaran terbaik. Dia berharap proses akuisisi bisa terlaksana akhir tahun ini atau awal tahun depan.
Suasana di konter syariah Bank BTN. / Bisnis-Dedi Gunawan
“Sudah ada beberapa bank yang sudah kami jajaki dan melakukan NDA, proses masih terus berlangsung. Kami berharap bisa mendapatkan kesepakatan terbaik untuk proses spin off BTN Syariah,” katanya.
Adapun, kebijakan mengenai spin off UUS di sektor jasa keuangan tujuannya adalah penguatan dan pengembangan industri keuangan syariah. Berdasarkan Laporan Perkembangan Keuangan Syariah Indonesia 2022 yang diterbitkan OJK, per Desember 2022 total aset keuangan syariah tercatat senilai Rp2.375,84 triliun (tidak termasuk saham syariah).
OJK juga menyebutkan pada tahun ketiga pandemi Covid-19, aset keuangan syariah Indonesia tumbuh 15,87 persen yoy, dari tahun sebelumnya Rp2.050,44 triliun.
Pasar modal syariah memiliki porsi terbesar aset keuangan syariah (60,08 persen). Kemudian, perbankan syariah dengan pangsa pasar 33,77 persen dan IKNB syariah sebesar 6,15 persen. Secara total, market share keuangan syariah mencapai 10,69 persen terhadap keuangan nasional.