Bisnis.com, JAKARTA - Meningkatnya risiko terkait iklim dan keberlanjutan membawa potensi baru bagi bisnis perbankan. Bank-bank kelas kakap pun bergeliat meraup potensi itu melalui penyaluran kredit hijau yang ditopang pendanaan di antaranya lewat surat utang berkelanjutan.
PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. (BBNI) misalnya gencar menyalurkan kredit hijau tahun ini. Per kuartal III/2023 BNI telah menyalurkan kredit hijau dengan portofolio di antaranya untuk energi terbarukan Rp25,3 triliun, pencegahan polusi Rp3,7 triliun, hingga sumber daya hayati dan penggunaan lahan berkelanjutan sebesar Rp21,5 triliun.
Direktur Risk Management BNI David Pirzada upaya itu dilakukan BNI sebagai upaya mendorong pemenuhan perjanjian paris.
"Hal ini diwujudkan dengan mendorong pemenuhan target net zero emosi [NZE]. Kami perkuat aspek green sesuai dengan arah portofolio berkelanjutan. Ada insentif pembiayaan hijau di transportasi ramah lingkungan," katanya dalam paparan kinerja kuartal III/2023 BNI pada Selasa (31/10/2023).
Perjanjian Paris merupakan kesepakatan mitigasi perubahan iklim internasional yang tercetus pada Konferensi Perubahan Iklim PBB 2015. Tujuannya adalah membatasi kenaikan suhu global di bawah 2°C dari era pra-industri, dengan posisi idealnya hingga 1,5°C.
Dalam kontribusi yang ditentukan secara nasional (Nationally Determined Contribution/NDC), Indonesia berkomitmen untuk mengurangi emisi sebesar 29% dengan upayanya sendiri, dan hingga 41% dengan bantuan internasional pada 2030.
Baca Juga
Adapun dalam menopang perluasan kredit hijau, BNI bergeliat meraup pendanaan. BBNI misalnya telah menerbitkan obligasi hijau atau green bond dengan jumlah pokok Rp5 triliun. Dana yang diperoleh dari penerbitan green bond digunakan BNI untuk pembiayaan maupun pembiayaan kembali proyek-proyek dalam kategori kegiatan usaha berwawasan lingkungan (KUBL).
Wakil Direktur Utama BNI Adi Sulistyowati mengatakan bahwa penerbitan green bond merupakan salah satu strategi BNI dalam meraup pasar green banking. Pasar itu dinilai sangat strategis bagi BNI.
"Sehubungan dengan hal tersebut maka BNI sebagai lembaga keuangan yang bertindak sebagai perantara siap menyalurkan investasi dalam aset berwawasan lingkungan," kata perempuan yang biasa disapa Susi itu.
PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. (BMRI) pun bergeliat menyalurkan kredit hijaunya. Secara keseluruhan, penyaluran kredit hijau dari BMRI pada kuartal III/2023 mencapai Rp122 triliun, naik dibandingkan nilai kredit hijau pada periode yang sama tahun sebelumnya Rp101 triliun.
Di antara portofolio kredit hijau Bank Mandiri adalah penyaluran pada energi terbarukan Rp9,5 triliun, pertanian berkelanjutan Rp97,9 triliun, produk ramah lingkungan Rp5,3 triliun, transportasi bersih Rp3,7 triliun, hingga bangunan hijau Rp4,4 triliun.
“Pembiayaan hijau atau green financing ini telah diarahkan untuk fokus ke sektor berkelanjutan, seperti sektor perkebunan yang telah tersertifikasi ISPO atau RSPO, energi baru dan terbarukan seperti pembangkit listrik bertenaga hydro, geothermal, transportasi, hingga ekosistem kendaraan listrik dari hulu ke hilir,” kata Direktur Utama Bank Mandiri Darmawan.
Dalam menopang kredit hijau, Bank Mandiri pun rajin meraup pendanaan hijau. BMRI misalnya telah menerbitkan global bond sebesar US$300 juta. Selain itu, Bank Mandiri juga telah menerbitkan Penawaran Umum Berkelanjutan (PUB) Obligasi Berwawasan Lingkungan Berkelanjutan Tahap I pada 4 Juli 2023 sebesar Rp5 triliun yang merupakan bagian PUB Obligasi Berwawasan Lingkungan Berkelanjutan I sebesar Rp10 triliun.
Wakil Direktur Utama Bank Mandiri Alexandra Askandar mengatakan bahwa penerbitan green bond digencarkan bank dengan tujuan menghimpun permodalan untuk kemudian disalurkan melalui pembiayaan hijau atau green financing.
"Sektor keuangan berperan memobilisasi sumber daya dan modal untuk mengatasi perubahan iklim dan mendukung transisi menuju ekonomi rendah karbon,” ujarnya dalam keterangan tertulis, dikutip pada September lalu (4/9/2023).
Ke depan, Bank Mandiri juga akan terus menggenjot pembiayaan hijau dengan target portofolio mencapai 25% dari total kredit secara bank only.
Selain dengan penyaluran kredit hijau, dalam mewujudkan komitmen nol emisi karbon, Bank Mandiri juga aktif terlibat di bursa karbon Indonesia (IDX Carbon). Pada perdagangan pertama, BMRI telah membeli 3.000 ton karbon.
Bank Mandiri juga merilis digital carbon tracking yang memungkinkan seluruh stakeholder melihat secara real-time jumlah karbon yang dihasilkan serta emisi yang berhasil dikurangi perseroan secara operasional.
PT Bank Central Asia Tbk. (BBCA) juga gencar menyalurkan kredit hijau, di mana portofolionya telah mencapai Rp80 triliun, naik 8,5% secara tahunan (year on year/yoy). Di antara portofolio pembiayaan hijau BCA disalurkan ke proyek sumber daya alam dan lahan berkelanjutan Rp63,3 triliun, transportasi berkelanjutan Rp7,9 triliun, serta produk ramah lingkungan Rp5,2 triliun.
“BCA berkomitmen untuk senantiasa mendukung upaya penurunan emisi karbon di Indonesia," kata Presiden Direktur BCA Jahja Setiaatmadja.
Adapun PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. (BBRI) telah mencatatkan portofolio pembiayaan hijau Rp81,8 triliun di antaranya disalurkan ke sumber daya alam dan lahan berkelanjutan Rp51,5 triliun, kendaraan hijau Rp12,9 triliun, hingga energi terbarukan Rp6 triliun.
Dalam menopang pembiayaan hijau, BRI di antaranya menerbitkan obligasi hijau. Terbaru, BRI menawarkan Obligasi Berwawasan Lingkungan Berkelanjutan I Bank BRI Tahap II Tahun 2023 atau obligasi hijau dengan nilai mencapai Rp6 triliun.
Potensi Pembiayaan Hijau di RI
Bergeliatnya bank-bank kelas kakap menyalurkan pembiayaan hijau seiring dengan potensinya yang dinilai besar. Presiden Direktur HSBC Indonesia Francois de Maricourt menilai bahwa peluang ekonomi berkelanjutan, termasuk penyaluran kredit hijau di Indonesia besar karena berbagai alasan.
Indonesia misalnya merupakan salah satu negara di Asia Tengara yang memiliki risiko paling besar terkena dampak perubahan iklim. Berdasarkan data Bank Pembangunan Asia, perubahan iklim akan memangkas Pertumbuhan Domestik Bruto (GDP) negara-negara di Asia Tenggara sebesar 11 persen pada akhir abad ini.
Kemudian, transisi energi juga menjadi salah satu priorotas pemerintah Indonesia saat ini. Ia mengatakan saat dunia bergerak menuju ekonomi hijau dan berkomitmen pada keberlanjutan, Indonesia telah memulai perjalanan menuju netralitas karbon dengan komitmen mencapai emisi karbon netral pada 2060.
Sementara, untuk mencapai potensi itu diperlukan modal yang besar. Khusus pada transisi energi terbarukan, diperlukan investasi energi terbarukan dengan nilai US$8 miliar per tahun.
Mengacu data dari NDC, Indonesia sendiri memerlukan pembiayaan sebesar Rp4.520 triliun untuk melakukan aksi mitigasi dalam peta jalan NDC. Dana sebesar itu tidak semuanya bisa dipenuhi oleh APBN. Perlu dorongan dari kredit hijau.
"Institusi keuangan, termasuk bank seperti HSBC, memiliki peran krusial dalam menghubungkan investor dengan peluang berkelanjutan dan mendukung perusahaan lokal dalam mengadopsi standar keberlanjutan internasional,” kata Francois dalam HSBC Summit 2023 pada Oktober lalu (11/10/2023).
Senior Faculty Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) Amin Nurdin juga mengatakan penyaluran kredit hijau di Indonesia potensial menjadi sumber baru pertumbuhan ekonomi. Kucuran kredit secara keseluruhan sejalan dengan pertumbuhan ekonomi. Semakin besar penyaluran kredit, maka pertumbuhan ekonomi semakin menanjak.
"Kontribusi kredit hijau sendiri ke Indonesia bisa tumbuh signifikan. Meskipun, saat ini masih tergolong kecil," ujarnya kepada Bisnis pada Oktober lalu (22/10/2023).
Apalagi, penyaluran kredit hijau saat ini dalam tren tumbuh positif. "Peluangnya terbuka lebar. Di satu sisi jadi model bisnis baru bagi lembaga jasa keuangan, termasuk bank. Sekarang pun mengemuka secara global isu ESG [environmental, social, and governance] dan jadi tren. Proses percepatan kredit hijau ini harusnya jadi menarik," tutur Amin.
Dukungan Regulasi
Sementara itu, sejalan dengan potensi besar, penyaluran kredit hijau juga diiringi dengan dukungan regulasi. Bank Indonesia (BI) misalnya mengeluarkan kebijakan makroprudensial yang mendorong kredit hijau. BI telah menyalurkan insentif bagi bank yang menyalurkan kredit ke 42 sektor prioritas termasuk sektor hijau.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga mendorong pertumbuhan ekonomi hijau, apalagi setelah disahkannya Undang-undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU PPSK). Dalam UU PPSK, pasal 6 ayat 1b menyebutkan bahwa OJK memiliki tugas baru untuk mengatur dan mengawasi keuangan derivatif dan bursa karbon. Adapun hal tersebut mencakup perdagangan instrumen yang berkaitan dengan nilai ekonomi karbon.
Regulator telah menerbitkan insentif di sejumlah sektor keuangan, salah satunya bertujuan mendukung program percepatan kendaraan bermotor listrik berbasis baterai (KBLBB).