Bisnis.com, JAKARTA -- Rasio kredit bermasalah atau non-performing loan (NPL) di industri perbankan diproyeksi meningkat pada 2024. Pendorongnya disebabkan terjadinya perlambatan daya beli dan penurunan pendapatan yang ujungnya mengganggu kemampuan bayar debitur.
Chief Economist BRI Anton Hendranata mengatakan dengan kondisi ini maka NPL cenderung meningkat terdorong kolektibilitas kredit perbankan yang berada dalam pengawasan khusus dan kredit kurang lancar naik menjadi macet.
“Tren NPL perbankan memang menurun. Namun ada tren kenaikan kolektabilitas 2 dalam pengawasan khusus dan Kol-3 yang kurang lancar yang cenderung meningkat. Kalau perbankan salah strategi, maka ini bisa mendorong NPL naik,” ujarnya dikutip Bisnis, Kamis (14/12/2023).
Berdasarkan catatan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), rasio kredit bermasalah perbankan sendiri menunjukkan tren penurunan secara keseluruhan dari tahun ke tahun, meski sempat mengalami perlambatan di beberapa bulan ke belakang.
Data menunjukkan pada 2021, tingkat Non-Performing Loan (NPL) mencapai 3%. Pada akhir 2022, angkanya mengalami penurunan menjadi 2,58%. Namun, pada awal 2023, NPL kembali mengalami lonjakan, mencapai 2,59% pada Januari, lalu Februari turun menjadi 2,58%.
Baca Juga
Kemudian, pada Maret, NPL mencapai 2,49%. Satu bulan setelahnya, yakni April naik menjadi 2,53% dan menyusut sedikit menjadi 2,52% pada Mei. Selanjutnya, NPL Juni mencatat penurunan lebih dalam menjadi 2,44% dan Juli meroket menjadi 2,51%.
Sementara itu, NPL Agustus berada di level 2,5% dan September hingga Oktober kembali turun, masing-masing menjadi 2,43% dan terakhir 2,42%. Capaian Oktober 2023 sendiri susut sebesar30 basis poin dibanding periode tahun lalu yang menyentuh 2,72%.
Adapun, sejumlah perbankan terus mengatur strategi dalam menekan rasio kredit bermasalah. Direktur Utama PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. (BBRI) Sunarso mengatakan pihaknya saat ini fokus pada percepatan penyelesaian atas portofolio pinjaman yang berstatus restrukturisasi karena Covid-19.
“Kita melakukan berbagai upaya secara prudent dalam membersihkan kredit bermasalah, karena dampak pada Covid-19,” ujarnya beberapa waktu lalu.
Berdasarkan data paparan Public Expose, saat ini PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. (BBRI) mencatat NPL 3,07% per September 2023. Pihaknya pun melakukan revisi atas guidance yang dibuat pada 2023.
Wakil Direktur Utama BRI Catur Budi Harto pun ikut mengamini, di mana dari sisi NPL pihaknya melakukan perbaikan, dari yang semula target guidance BRI yang sempat berada di level 2,6%-2,8%, kini berubah menjadi 2,8% hingga 3% hingga akhir 2023.
“Hal ini sejalan dengan proses kami untuk melakukan akselerasi resolusi atas kredit restrukturisasi yang terdampak Covid-19, yang utamanya di segmen mirko dan SME,” ungkapnya.
Sementara itu, PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk. (BBTN) memproyeksikan rasio kredit bermasalah (nonperforming loan/NPL) turun di bawah 3% pada 2024, salah satu strateginya dengan menjual aset kredit bermasalah.
“NPL juga akan masih lebih turun lagi, jika transaksi aset sales benar-benar bisa dilakukan di Desember. OJK, BPKP hingga pemilik terakhir yaitu kantor BUMN juga sudah setuju. Jadi, saat ini isunya bukan perizinan lagi, tapi isunya yaitu aset sales tinggal menunggu instrumen sukuk yang akan kami beli untuk ditukarkan dengan NPL. Ini kalau terjadi, maka 861 miliar NPL turun dan tahun depan kami akan melakukan 1 triliun lagi,” ujar Direktur Utama BTN Nixon L.P. Napitupulu beberapa waktu lalu.
Pada umumnya aset kredit bermasalah yang dijual BTN berupa apartemen atau hotel. BTN juga turut melakukan kesepakatan dengan IFG Life terkait pembayaran klaim-klaim tertunda sekitar Rp500 miliar yang ditargetkan rampung tahun ini.
Saat ini, BTN mencatatkan NPL gross di level 3,53% pada September 2023, naik 8 basis poin dari periode yang sama tahun lalu yaitu 3,45% pada September 2022. Di sisi lain, PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. (BMRI) sendiri akan terus menjaga rasio NPL stabil di level 1% hingga 1,3% di akhir tahun.
Direktur Manajemen Risiko Bank Mandiri Ahmad Siddik Badruddin menyebut saat ini menjaga kualitas aset menjadi penuh tantangan hingga pertengahan tahun 2024. Oleh karena itu, perseroan lebih mawas diri dalam menyalurkan kredit pada sejumlah segmen.
“Jadi, kami terus melakukan analisis sensitivitas dan stress test pada semua portofolio kredit kami,” ujarnya.
Siddik menyebut, untuk saat ini, perseroan lebih berhati-hati dan terus memantau fluktuasi harga komoditas. Ini tecermin bagaimana perseroan terus melakukan proyeksi bersama Chief Economist dalam melihat potensi harga komoditas tahun depan, berdasarkan global demand dan supply.
Selain itu, BMRI pun lebih prudent kala menyalurkan kredit pada segmen yang berpotensi terkena dampak dari geopolitik di Timur Tengah. “Karena menurut kami kalau krisis di Gaza terekskalasi, kemungkinan akan berdampak pada supply demand dari oil dan berdampak pada kenaikan harga minyak. Jadi, kita harus melakukan sensitivitity analyst pada debitur,” ungkapnya.
BMRI juga melakukan mitigasi pada sejumlah sektor yang permintaan akan produk mereka harus diekspor ke negara yang pertumbuhan ekonominya terdampak dari geopolitik atau makro ekonomi environment.Tercatat, posisi nonperforming loan BMRI bank only melandai ke level 1,36% per September 2023, turun 90 basis poin (bps) dibanding periode yang sama tahun lalu di level 2,26%.