Bisnis.com, JAKARTA - Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) memproyeksikan pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) alias tabungan hingga giro akan tumbuh kembali normal pada 2024 di level 6% hingga 7%. Ada sejumlah faktor pendorong pertumbuhan moncer DPK tahun ini.
Ketua Dewan Komisioner LPS Purbaya Yudhi Sadewa mengatakan LPS memperkirakan pertumbuhan DPK akan segera membaik lagi pada tahun ini seiring arah kebijakan keuangan yang diperkirakan kembali melonggar.
"Apalagi didorong kebijakan moneter, The Fed juga akan mengurangi tekanannya. Uang di paruh kedua akan lebih banyak beredar di sistem. Ekonomi bergerak, simpanan makin tinggi, kami perkiraan akan kembali normal 6%-7%," ujarnya dalam acara Konferensi Pers Penetapan Tingkat Suku Bunga Penjaminan LPS pada Selasa (30/1/2024).
Pada tahun lalu atau 2023, pertumbuhan tabungan hingga giro tumbuh lambat. Nilai DPK itu tumbuh hanya 3,8% secara tahunan (year on year/yoy). Pada bulan sebelumnya atau November 2023, pertumbuhan DPK juga berada di level 3,8%.
Apabila ditarik dalam setahun terakhir, pertumbuhan DPK perbankan pada 2023 memang melambat, di mana pada Desember 2022, DPK masih bisa tumbuh di level 9,3%.
Sementara itu, apabila ditarik dalam satu dasawarsa terakhir, sejak 2014 hingga 2023 pertumbuhan DPK paling seret terjadi pada akhir 2023. Pada 2014, pertumbuhan DPK tergolong pesat yakni 12%. Pertumbuhannya melambat setahun setelahnya menjadi 8%. DPK kembali tumbuh pesat pada saat pandemi Covid-19 di medio 2020, 2021, dan 2022, masing-masing tumbuh 11,3%, 12,1%, dan 9,3%.
Baca Juga
Purbaya mengatakan pertumbuhan DPK pada 2023 awalnya dianggap akan kembali ke normal karena ada adjustment. Akan tetapi, pada kenyataannya DPK hanya tumbuh 3,8%.
"Ada beberapa hal yang menyebabkan DPK melambat, sebagian dana dipakai ekspansi," tuturnya.
Purbaya menjelaskan dari sisi tiering nominal simpanannya, perlambatan terjadi pada tiering simpanan nasabah kaya atau nominal di atas Rp5 miliar. Sementara, nilai simpanan nasabah di atas Rp5 miliar banyak yang merupakan nasabah korporasi.
Adapun, dari sisi korporasi banyak simpanan dipakai untuk menjalankan ekspansi. "Mereka beralih memakai uang sendiri untuk usahanya. Ini karena bunga pinjaman naik, sehingga mereka pakai uang mereka terlebih dahulu sampai habis," ujarnya.
Selain itu, ada dampak dari unintended contruction policy atau kebijakan konstruksi yang tidak diinginkan, entah dari fiskal dan moneter yang membuat DPK melambat.
Sebelumnya, Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Dian Ediana Rae mengatakan pada 2023 laju DPK perbankan memang mengalami tren perlambatan. "Akan tetapi itu make sense. Jadi selama Covid-19 kan semua industri dan perseorangan menaruh duit di bank, tidak bisa ekspansi. Karena Covid-19 sudah dicabut ekonomi bergeliat, duit tadinya ditaruh di bank pastinya diambil," ujarnya dalam wawancara khusus dengan Bisnis Indonesia pada beberapa waktu lalu.
Sementara, Senior Economist INDEF Aviliani mengatakan tren perlambatan DPK terjadi pada 2023 saat konsumsi kelompok masyarakat menengah ke atas kembali normal. Saat kondisi tersebut, masyarakat menginginkan return dari investasinya di simpanan dengan bunga yang tinggi.
Apabila suku bunga simpanan di bank-bank Indonesia kalah dibandingkan dengan bunga di negara lain, masyarakat akan menyimpan dananya di luar. "Singapura misalnya bunganya tinggi, jadinya dia [masyarakat] investasi di tempat lain. Dananya akan keluar masuk tergantung return yang diberikan," ujarnya dalam acara Media Literacy Circle dengan tajuk Building Inclusive Economies yang digelar UOB Indonesia pada pertengahan tahun lalu (15/8/2023).
Untuk itu, menurutnya otoritas hingga regulator harus menjaga daya tarik masyarakat untuk menyimpan dananya di perbankan Indonesia. "Pengusaha diajak ngobrol juga, agar dana tak keluar semua," tuturnya.