Bisnis.com, JAKARTA - Ketatnya likuiditas sedang menjadi isu panas bagi perbankan global dan nasional saat ini. Hal ini dikarenakan mulai beralihnya arah perekonomian global, bergerak dari rezim pelonggaran menjadi pengetatan selama 2023.
Ketatnya likuiditas meru-juk pada kondisi di mana dana yang tersedia di sistem perbankan menjadi lebih terbatas dan sulit diperoleh. Isu ini bukan hanya menjadi perhatian pada tingkat nasi-onal, tetapi juga memiliki dampak yang signifikan pada perbankan global.
Untuk memahami implikasi dan kompleksitas ketatnya likuiditas terhadap sistem perbankan, kita perlu mela-kukan pemahaman yang komprehensif tentang bagai-mana likuiditas dipengaruhi oleh berbagai faktor, terma-suk tingkat bunga, kebijakan pemerintah, dan perilaku masyarakat.Salah satu faktor utama yang memengaruhi ketersediaan likuiditas dalam sistem perbankan adalah tingkat bunga.
Tingkat bunga, khususnya tingkat suku bunga acuan seperti BI Rate atau The Fed Rate, memiliki dam-pak besar terhadap perilaku bank-bank di pasar. Ketika bunga acuan dite-tapkan oleh bank sentral, bank-bank akan bertransaksi satu sama lain pada tingkat tersebut di pasar yang merupakan salah satu cara utama bagi bank dalam memenuhi kebutuhan likuiditas harian mereka.
Ketika bunga acuan dirasa terlampau tinggi, kebijakan ini akan menyulitkan bank dalam meminjamkan dana satu sama lain yang pada akhirnya dapat berujung pada berkurangnya keterse-diaan likuiditas dalam sistem perbankan.
Di sisi lain, jika bunga acuan terlalu rendah, kondisi ini akan mengakibatkan banjir likuiditas dalam sistem perbankan.
Baca Juga
Dalam konteks ini, bank-bank memiliki kele-luasaan lebih untuk meng-investasikan kelebihan likui-ditas ini di berbagai fasilitas yang tersedia atau ekspansi kredit. Namun, penting dicatat bahwa rezim kebijakan moneter yang terlalu longgar dengan tingkat bunga yang terlalu rendah juga dapat memiliki dampak negatif, seperti mendorong aktivitas investasi yang berlebihan dan berisiko, serta menghasilkan gelembung aset sebagaima-na kita saksikan pada Krisis Keuangan Global 2008.
Di sinilah letak perlunya menja-ga keseimbangan yang tepat dalam pengaturan tingkat bunga acuan.
BELAJAR DARI SVB
Tahun 2023 menjadi salah satu momen penting dalam sejarah perbankan Amerika Serikat (AS). Negeri Paman Sam ini dihadapkan oleh kolapsnya salah satu bank terbesar dalam sejarah mere-ka, yaitu Silicon Valley Bank (SVB) lantaran menghadapi kekeringan likuiditas akut. Kekeringan ini disebabkan oleh penarikan dana yang tiba-tiba dari nasabah dan ketidakmampuan bank ter-sebut untuk menginjeksikan modal tambahan.
Sebagai respons terhadap kasus ini, regulator AS segera menerapkan langkah-lang-kah darurat untuk mencegah efek sistemik lebih lanjut dan meredam kekhawatiran para nasabah agar tidak ter-jadi penularan ke bank-bank lainnya. Masalah muncul ketika Bank Sentral AS, The Fed mulai menaikkan suku bunga yang menyebabkan nilai investasi SVB pada surat berharga ini mengalami penurunan.
Alhasil, secara relatif SVB mengalami kerugian investasi yang cukup besar. Meskipun demikian, sebe-narnya situasi ini tidak akan menjadi masalah besar jika tidak diikuti oleh adanya penarikan dana oleh nasabah secara tiba-tiba dan jumlah besar, yang akhirnya memak-sa SVB untuk jual rugi obligasi dalam jumlah yang cukup besar guna memenuhi kebutuhan likuiditas mereka.
Sebagai respons terhadap perkembangan ini, manaje-men SVB mengumumkan niatnya untuk mengumpulkan modal tambahan, yang justru malah kontraproduktif kare-na memicu penjualan saham secara tiba-tiba oleh para investor dan penarikan dana oleh para nasabah secara ber-bondong-bondong dan dalam jumlah yang sangat besar.
Kejadian SVB mengajarkan kita tiga hal. Pertama, peng-alokasian portofolio bisnis dan investasi oleh bank-bank di Indonesia harus didasar-kan pada data yang kuat dan pertimbangan yang cermat. Kasus SVB menunjukkan betapa pentingnya melaku-kan evaluasi risiko secara konstan dan menyeluruh serta memahami implikasi dari keputusan investasi yang dipilih.
Bank-bank perlu mempertimbangkan konse-kuensi jangka panjang dari kebijakan investasinya.Kedua, penting bagi bank-bank di Indonesia untuk memahami arah dan peru-bahan yang mungkin terjadi dalam kebijakan perekono-mian di masa depan. Hal ini termasuk memahami bagaimana perubahan tingkat suku bunga, kebijakan fiskal, atau perubahan dalam regu-lasi yang dapat memengaruhi kinerja perbankan.
Dengan pemahaman yang lebih men-dalam tentang faktor-faktor ekonomi dan juga nonekono-mi ini, bank-bank dapat lebih siap menghadapi tantangan dan beradaptasi dengan peru-bahan, serta bertindak secara lincah (agile) jikalau pun dihadapkan oleh permasalah-an yang sama seperti SVB.Ketiga, kolapsnya SVB juga mengajarkan kita akan pentingnya komunikasi yang baik antara regulator dan perbankan di Indonesia.
Terjalinnya dialog yang terbuka dan transparan antara kedua belah pihak ini dapat membantu dalam memahami dan memitigasi risiko-risiko yang mungkin dihadapi oleh sektor perbankan dan meng-ambil tindakan pencegahan yang tepat. Komunikasi yang efektif juga dapat membantu dalam merancang kebijakan yang lebih responsif terhadap perubahan ekonomi dan mengu-rangi ketidakpastian di pasar.
Insiden SVB telah menya-darkan kita bahwa keterse-diaan likuiditas merupakan aspek krusial bagi sustainabi-litas bisnis perbankan. Dalam rangka menghindari insiden SVB terjadi di Tanah Air, bank-bank dan para regulator di Indonesia perlu mengambil langkah-langkah proak-tif dalam mengelola risiko likuiditas dan meningkatkan kapasitas kita semua dalam menghadapi arah angin per-ekonomian.
Layaknya di dunia kesehat-an, sektor perbankan juga mesti memegang teguh prin-sip bahwa mencegah selalu lebih baik daripada mengo-bati.