Bisnis.com, JAKARTA - Sejumlah negara mitra dagang Indonesia seperti Jepang dan Inggris mengalami perlambatan ekonomi hingga resesi. Lantas, apakah ini akan memberi dampak pada sektor keuangan hingga perbankan RI?
Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Mahendra Siregar mengatakan pihaknya akan terus memantau dampak resesi Jepang dan Inggris terhadap sektor keuangan Indonesia.
"Kita bakal cermati sekiranya ada dampak, tapi sejauh ini kami tidak mengharapkan [dampak itu ada], ujarnya usai agenda Pertemuan Tahunan Industri Jasa Keuangan (PTIJK), Selasa (20/2/2024).
OJK sendiri pun menilai saat ini ketidakpastian perekonomian global mulai menurun, namun masih terjadi divergensi pemulihan antarnegara. Indikator perekonomian menunjukkan pertumbuhan ekonomi termoderasi di beberapa negara, khususnya di negara Uni Eropa dan Tiongkok.
“Perlambatan pertumbuhan ekonomi mendorong inflasi turun mendekati target inflasi sehingga memberikan ruang bagi bank sentral untuk lebih akomodatif,” tulis OJK dalam keterangan tertulisnya.
Di AS, The Fed mengisyaratkan akan menurunkan suku bunga kebijakan sebesar 75 bps di 2024 dengan pasar menilai ekonomi AS masih cukup resilient dan diperkirakan tidak akan mengalami resesi.
Baca Juga
Namun demikian, pasar masih mencermati perkembangan geopolitik ke depan, seperti eskalasi ketegangan di laut merah imbas dari konflik Timur Tengah, serta penyelenggaraan pemilihan umum sepanjang tahun 2024 yang mencakup 50% populasi dunia terutama di beberapa negara utama seperti AS, Uni Eropa, India, dan Taiwan serta pemulihan ekonomi China.
Secara umum sentimen di pasar keuangan global cenderung positif sejak Desember 2023 didukung oleh ekspektasi penurunan suku bunga Fed Funds Rate (FFR) dan perkiraan soft landing di AS, sehingga mendorong kembalinya aliran dana masuk ke Emerging Markets (EM) dan menjadi penopang penguatan pasar keuangan global, termasuk pasar keuangan Indonesia.
"Volatilitas baik di pasar saham, surat utang, maupun nilai tukar juga terpantau menurun," tulisnya.
Di domestik, leading indicators perekonomian nasional masih cukup positif, di antaranya ditunjukkan oleh neraca perdagangan yang masih surplus dan PMI Manufaktur yang masih ekspansif.
Tingkat inflasi juga terjaga rendah pada tahun 2023 di level 2,61 persen yoy. Namun demikian, masih perlu dicermati perkembangan permintaan domestik ke depan seiring masih berlanjutnya penurunan inflasi inti, penurunan optimisme konsumen, serta melandainya pertumbuhan penjualan ritel dan kendaraan bermotor.
Sementara itu, Ketua Dewan Komisioner LPS, Purbaya Yudhi Sadewa meminta masyarakat tidak perlu khawatir soal prediksi International Monetary Fund (IMF) soal gejolak global.
Menurutnya, kinerja ekonomi sejumlah negara maju masih sangat apik. Purbaya menuturkan, kinerja ekonomi Amerika Serikat (AS) masih kuat, hal ini berkat stimulus yang diberikan China.
"AS masih kuat, kan China udah ngasih stimulus untuk perekonomian. Amerika sudah ekspansif kebijakannya, cuma sinyalnya seolah-olah kontraktif," jelasnya.
Purbaya memperkirakan, ekonomi global di 2024 masih tetap tumbuh meski tidak terlalu ekspansif. Namun, dia mengatakan masih ada kemungkinan resesi jika perang global melibatkan partai besar.
"Kalau kita fokus domestik, kita masih bisa selamat. Apalagi global harusnya masih tumbuh 3,2%. Tahun lalu [IMF] katanya lebih buruk tapi angkanya masih 3,2%," tuturnya.
Lalu, dari sektor pemain industri, PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. (BBNI) misalnya menyebut terkait resesi Jepang dan Inggris tentunya membawa dampak ke dunia perbankan
Direktur Utama BNI Royke Tumilaar menyiratkan bahwa resesi yang terjadi di Inggris dan Jepang memiliki dampak yang relatif kecil. Mengingat, perekonomian negara lain justru bertumbuh
“Pasti daya beli mereka [Inggris dan Jepang] menurun. Tapi ekspor kita paling gede ke China. Kita beli apa-apa ke China,” tutupnya.
Sebelumnya, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menyatakan bahwa perekonomian di negara maju akan tertekan, termasuk Jepang dan Inggris, ternyata terlebih dulu masuk ke jurang resesi.
Dia menyebut bahwa tahun ini beberapa lembaga melaporkan kinerja perekonomian negara-negara maju yang akan cukup tertekan. Menurutnya, tekanan tersebut dipengaruhi suku bunga yang merangkak tinggi di berbagai negara dalam waktu yang sangat singkat.
“Jadi pasti mempengaruhi kinerja perekonomian mereka [negara maju], itu yang menyebabkan kenapa proyeksi dan outlook ekonomi bagi banyak negara, terutama G7 itu akan cenderung melemah,” kata Sri Mulyani saat ditemui usai Pertemuan Tahunan Industri Jasa Keuangan 2024 (PTIJK) di Jakarta, Selasa (20/2/2024).
Adapun, negara G7 sendiri terdiri dari Amerika Serikat, Britania Raya, Italia, Jepang, Jerman, Kanada, dan Prancis.