Bisnis.com, JAKARTA — Pasar keuangan Indonesia menjadi ladang penghasil laba jumbo bagi investor asing. Kepemilikan kendali saham perbankan dan leasing menjadi langkah yang dilakukan.
Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI) mengungkap alasan investor asing terutama dari Jepang dan Korea gencar melakukan ekspansi di Indonesia merupakan ekses dari kebijakan permodalan yang dilakukan regulator.
Ketua Umum APPI Suwandi Wiratno menuturkan regulasi permodalan tertuang dalam Peraturan OJK (POJK) Nomor 35 Tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Pembiayaan. Pada pasal 87 regulasi ini disebutkan perusahaan pembiayaan berbentuk perseroan terbatas wajib memiliki ekuitas paling sedikit Rp100 miliar.
Ketentuan ini telah dilaksanakan secara bertahap sejak 2016 dengan nilai minimal Rp40 miliar. Dalam pasal 111 disebutkan bagi perusahaan yang tidak memenuhi aturan tersebut dapat dikenai sanksi administratif berupa peringatan, pembekuan kegiatan usaha, hingga pencabutan izin usaha.
“Beberapa perusahaan yang memang mengalami kesulitan permodalan Rp100 miliar sepertinya pun tidak langsung diberikan sanksi atau tidak langsung dicabut izinnya, tapi diberikan waktu,” kata Suwandi saat dihubungi Bisnis, Senin (26/2/2024).
Bahkan ketika pandemi Covid-19 berlangsung pertama kali di Indonesia pada 2020, OJK juga memberikan waktu sampai 2 tahun kepada perusahaan pembiayaan untuk memenuhi aturan ekuitas baru tersebut.
Namun tentunya regulator tidak bisa terus menerus memberikan waktu, maka perusahaan pembiayaan diberikan pilihan untuk melakukan penyetoran modal atau mencari partner baru. Akhirnya perusahaan yang belum memenuhi ketentuan Rp100 miliar mau tidak mau harus menyusun strategi salah satunya dengan mencari investor.
“Nah yang tadi itu gayung bersambut di mana saat-saat Covid-19 mungkin investor melihat sepertinya perusahaan banyak juga yang mengalami kesulitan, mereka bisa masuk dengan harga lumayan,” tutur Suwandi.
Suwandi mengatakan beberapa negara mulai masuk seperti Korea hingga Jepang. Menurutnya, para investor tersebut mencari peluang ke negara-negara di mana memiliki demografi jumlah penduduk yang banyak, termasuk Indonesia. Suwandi menilai apabila dana yang mereka miliki apabila diinvestasikan ke negaranya tak memberikan imbal hasil yang menjanjikan.
“Jadi mereka investasi ke negara yang penduduknya banyak dan konsumsinya juga tinggi. Mereka masuk ke pembiayaan-pembiayaan ritel, contoh pembiayaan sepeda motor dan mobil. Mereka melihat potensi kalau mereka menginvestasikan bisa mendapatkan imbal hasil yang baik,” tutur Suwandi.
Terbaru, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengungkap ada lima perusahaan pembiayaan yang tengah dalam proses akuisisi. Investor yang akan mengakuisisi multifinance itu berasal dari Jepang, Korea Selatan, dan Hongkong.
Kepala Eksekutif Pengawas Lembaga Pembiayaan, Perusahaan Modal Ventura, Lembaga Keuangan Mikro dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya (PVML) OJK Agusman menyatakan nominal transaksi akuisisi tersebut mencapai Rp13,8 triliun. “Nilai transaksi akuisisi dari kelima perusahaan pembiayaan tersebut mencapai Rp13,8 Triliun,” kata Agusman dalam jawaban tertulisnya, pekan lalu (21/2/2024).
Adapun Agusman menjelaskan lima perusahaan pembiayaan tersebut bergerak di pembiayaan sektor otomotif atau kendaraan bermotor. Sementara satu lainnya yakni sektor multiguna yakni pembiayaan barang elektronik, sepeda listrik, dan motor listrik.
Akuisisi multifinance oleh investor asing memang tengah gencar dilakukan beberapa tahun terakhir. Pada tahun lalu misalnya, raksasa keuangan dari Jepang Mitsubishi UFJ Financial Group (MUFG) dan PT Adira Dinamika Multi Finance Tbk (ADMF) mengumumkan mengakuisisi PT Home Credit Indonesia. Perusahaan juga tengah dalam proses meminta perizinan OJK atas rencana pengambilalihan PT Mandala Multifinance Tbk. (MFIN) atau Mandala Finance. Pada Juli 2020, KreditPlus yang awalnya bernama PT Finansia Multi Finance diakuisisi oleh KB Kookmin Card Corp dengan kepemilikan saham mencapai 80%.
DOMINASI INVESTOR JEPANG DAN KOREA di BANK
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menilai investor Korea dan Jepang terus menunjukkan ketertarikan pada sektor perbankan RI, termasuk yang ingin memperkuat permodalan bank melalui right issue.
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Dian Ediana Rae mengatakan pertumbuhan ekonomi yang solid dan potensi pasar yang besar di Indonesia menjadi pemicu utama bagi investasi.
“Investor cenderung melihat peluang dalam diversifikasi portofolio dan mencari keuntungan dari kondisi ekonomi yang menjanjikan,” ujarnya dalam keterangan tertulis, pekan lalu (22/2/2024)
Margin bunga bersih (net interest margin/NIM) perbankan nasional Indonesia yang masih di kisaran angka 3% hingga 5%, serta mayoritas Bank berafiliasi Korea dan Jepang masih membukukan laba yang cukup baik menjadi faktor yang menguatkan.
Ambil contoh, investasi asing dari Jepang kepada perbankan di Indonesia yang dilakukan oleh Mitsubishi UFJ Financial Group Inc. (MUFG) di PT Bank Danamon Indonesia Tbk. Berdasarkan data kepemilikan saham per 31 Januari 2024, MUFG mempunyai porsi kepemilikan 92,47% saham di Bank Danamon.
Adapun, soal kinerja, PT Bank Danamon Indonesia Tbk. (BDMN) mencatatkan laba bersih Rp3,5 triliun pada 2023, naik 6% secara tahunan (year on year/yoy).
Kemudian, salah satu bank yang dikendalikan oleh konglomerasi keuangan asal Negeri Ginseng yang juga telah melaporkan kinerjanya adalah PT Bank IBK Indonesia Tbk. (AGRS)
Tercatat, AGRS yang sahamnya digenggam oleh Industrial Bank of Korea sebesar 93,24% ini membukukan laba bersih mencapai Rp187 miliar pada 2023 naik 80% dibandingkan tahun sebelumnya sebesar Rp103 miliar
Kata Dian, saat ini investor Korea dan Jepang terlibat dalam berbagai aspek bisnis perbankan, termasuk kemitraan strategis dengan bank lokal, investasi langsung, dan bahkan akuisisi.
Dirinya menuturkan investasi langsung dan akuisisi mencerminkan komitmen jangka panjang mereka terhadap pertumbuhan dan perkembangan sektor perbankan Indonesia.
“Adapun, kemitraan dengan bank lokal membantu mereka memanfaatkan pengetahuan lokal, memahami kebutuhan pasar dengan lebih baik, dan meminimalkan risiko operasional,” ujarnya.
Selain itu, sederet faktor seperti pertumbuhan ekonomi yang stabil, jumlah populasi yang besar, dan peluang inovasi serta ekspansi, termasuk di bidang digital banking, financial technology (fintech), dan inklusi keuangan juga menjadi daya tarik bagi investor asing.
Dian juga membeberkan fenomena berbagai permohonan izin masuk dari investor asing, termasuk yang ingin memperkuat permodalan bank melalui right issue.
Meski begitu, dia menyebut secara berkala OJK melakukan evaluasi ketat dilakukan untuk memastikan kontribusi positif investor asing terhadap sektor perbankan dan ekonomi Indonesia secara keseluruhan
“Kebijakan dan regulasi terus disempurnakan untuk menjaga keseimbangan antara mengundang investasi dan memastikan kestabilan serta integritas sistem keuangan, termasuk aturan tentang batasan kepemilikan, transfer teknologi, dan penguatan kapasitas lokal,” tuturnya.
Sebagai konteks, pada tahun lalu sejumlah investor asing rajin menyuntikan permodalan melalui skema right issue terhadap bank-bank di Indonesia. Industrial Bank of Korea yang mengendalikan PT Bank IBK Indonesia Tbk. (AGRS) menyuntikkan dana setoran modal senilai Rp1 triliun pada tahun lalu.
PT KB Bukopin Tbk. (BBKP) juga telah mendapatkan guyuran modal Rp8,02 triliun dari pengendalinya asal Korea Selatan, KB Kookmin Bank Ltd. pada tahun lalu. Suntikan modal itu menjadi bagian dari keterlibatan KB Kookmin Bank dalam aksi right issue BBKP sebanyak 119,99 miliar saham baru dengan total nilai transaksi mencapai Rp11,99 triliun.
Tahun ini, bank besutan korporasi keuangan asal Jepang Sumitomo Mitsui Banking Corporation (SMBC) yakni PT Bank BTPN Tbk. (BTPN) juga bersiap mempertebal modal melalui right issue sebanyak 2,58 miliar lembar saham.