Bisnis.com, JAKARTA – Bank Indonesia (BI) dinilai akan tetap mempertahankan tingkat suku bunga acuan atau BI Rate pada tingkat 6% beberapa waktu ke depan.
Sebagaimana diketahui, nilai tukar rupiah semakin mendekati level Rp16.000 per dolar AS. Pada pembukaan perdagangan Rabu pagi (3/4/2024), rupiah tercatat melemah 0,21% pada level Rp15.931 per dolar AS.
Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede mengatakan bahwa sejumlah tantangan, baik yang bersumber dari sisi eksternal maupun domestik akan mempengaruhi keputusan Bank Indonesia (BI) dalam menentukan timing dan besar pemangkasan BI-Rate ke depan.
Di samping tantangan di sisi nilai tukar rupiah, tekanan inflasi yang cenderung meningkat di dalam negeri juga menjadi pertimbangan BI dalam menentukan arah kebijakan suku bunga BI.
“Dalam jangka pendek, ditambah dengan risiko inflasi yang meningkat terutama dari sisi harga pangan, akan membuat BI cenderung akan mempertahankan BI-Rate pada level saat ini dengan ruang pemotongan kemungkinan terjadi pada paruh kedua tahun ini,” katanya kepada Bisnis, Rabu (3/4/2024).
Terkait pelemahan nilai tukar rupiah, Josua menilai kondisi ini dipengaruhi oleh sejumlah faktor. Pertama, ketidakpastian terkait arah suku bunga global meningkat. Dalam hal ini, bank sentral utama dunia cenderung berbeda dalam menentukan arah kebijakan moneternya.
Baca Juga
Misalnya, European Central Bank (ECB) dan Bank of England (BoE) memberikan sinyal dovish, sementara Swiss National Bank (SNB) telah melakukan pemangkasan suku bunga pada tahun ini.
Di sisi lain, Bank of Japan (BoJ) memutuskan untuk keluar dari zona suku bunga acuan negatif dengan menaikkan suku bunga jangka pendeknya, dikarenakan inflasi yang berada di atas target.
The Fed pun kembali menegaskan bahwa keputusan moneternya ke depan akan tetap berdasarkan perkembangan indikator ekonomi terkini, meski telah memberikan sinyal bahwa pemangkasan suku bunga tetap terbuka tahun ini.
“Perkembangan kondisi suku bunga global yang cenderung divergent tersebut membuat sentimen risk-off di pasar negara berkembang, termasuk Indonesia, kembali meningkat. Hal ini terlihat terutama pada pasar obligasi Indonesia yang sudah mencatatkan net outflow secara year-to-date,” katanya.
Kedua, di dalam negeri, Josua mengatakan bahwa Indonesia dihadapkan dengan risiko kembalinya twin deficit atau kondisi di mana ekonomi mencatatkan pelebaran defisit neraca transaksi berjalan dan defisit fiskal.
Dari sisi fiskal, imbuhnya, terjadi ketidakpastian terkait dengan program-program pemerintahan ke depannya. Banyak pihak menilai pemerintah mendatang cukup agresif sehingga dapat mendorong peningkatan belanja negara cukup signifikan.
Di sisi lain, penerimaan negara cenderung menurun sejalan dengan normalisasi harga komoditas.
Josua menambahkan, data terkini menunjukkan bahwa APBN masih mencatatkan surplus, tapi jika dibandingkan dengan posisi periode yang sama tahun lalu, surplus cenderung menurun.
“Hal ini memberi kekhawatiran terkait pembiayaan APBN ke depan sehingga memberikan sentimen negatif pada pasar obligasi Indonesia. Tercatat bahwa kepemilikan asing di SBN terus menurun dari awal tahun,” jelasnya.