Bisnis.com, JAKARTA -- Bank perekonomian rakyat (BPR) mencatatkan kinerja laba yang jeblok pada kuartal I/2024 dan kredit bermasalah (nonperforming loan/NPL) yang membengkak. Seiring dengan kondisi tersebut, terdapat belasan bank bangkrut dan dicabut izinnya oleh otoritas.
Berdasarkan Statistik Perbankan Indonesia yang dirilis Otoritas Jasa Keuangan (OJK), industri BPR telah meraup laba bersih sebesar Rp430 miliar hingga Maret 2024. Labanya merosot 47,87% secara tahunan (year on year/yoy) atau dibandingkan laba bersih periode yang sama tahun sebelumnya Rp825 miliar.
Adapun, rasio NPL BPR membengkak pada kuartal I/2024, menjadi 10,7% per Maret 2024. Pada periode yang sama tahun sebelumnya NPL BPR masih pada level 8,51%.
NPL BPR juga telah merangkak secara perlahan, di mana pada Januari 2024 dan Februari 2024 masing-masing berada di level 10,25% dan 10,55%.
Seiring dengan jebloknya kinerja laba dan membengkaknya NPL, OJK mencabut izin usaha sederet BPR pada awal tahun ini.
Terbaru, OJK mencabut izin usaha BPR Jepara Artha sesuai dengan Keputusan Anggota Dewan Komisioner OJK Nomor KEP-42/D.03/2024 tanggal 21 Mei 2024 tentang Pencabutan Izin Usaha PT BPR Bank Jepara Artha (Perseroda).
Baca Juga
Pada tiga bulan pertama, OJK juga telah mencabut izin usaha BPR Aceh Utara, BPR EDCCASH, Perumda BPR Bank Purworejo, PT BPR Bank Pasar Bhakti, PT BPR Usaha Madani Karya Mulia, BPRS Mojo Artho Kota Mojokerto (Perseroda) hingga Koperasi BPR Wijaya Kusuma.
Alhasil, hingga saat ini sudah ada 12 BPR yang bangkrut dan dicabut izinnya oleh OJK. Padahal, per tahun lalu, hanya 4 BPR saja yang dicabut izin usahanya oleh OJK.
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Dian Ediana Rae mengatakan pada dasarnya pencabutan izin usaha terhadap BPR dilakukan untuk membersihkan BPR yang tidak kredibel serta tidak mampu melindungi kepentingan masyarakat secara umum.
“[Pencabutan izin] sudah dilakukan pertimbangan yang panjang. Sehingga, [ketika] tidak bisa diselamatkan, kita serahkan ke Lembaga Penjamin Simpanan [LPS],” katanya kepada awak media pada beberapa waktu lalu di Jakarta.
Terkait kinerja jeblok, termasuk NPL BPR yang membengkak, Dian mengatakan terdapat sejumlah faktor penyebab.
"Peningkatan NPL BPR dipengaruhi di antaranya oleh berakhirnya kebijakan restrukturisasi dan persaingan usaha debitur yang semakin kompetitif sehingga meningkatkan eksposur risiko kredit," ujarnya.
Meski begitu, menurutnya telah dilakukan upaya mitigasi dampak negatif atas peningkatan rasio NPL tersebut. Rasio permodalan BPR misalnya terpantau memadai dengan rasio kecukupan modal (capital adequacy ratio/CAR) pada level 32,6%.
"Rasio CAR yang berada jauh di atas threshold tersebut menunjukan bahwa BPR memiliki ketahanan permodalan yang mampu menyerap risiko yang dihadapi, utamanya risiko kredit," tutur Dian.
Selain itu untuk memitigasi risiko kredit, BPR juga dinilai aktif membentuk cadangan kerugian sebagai buffer apabila terdapat penurunan kualitas kredit.
Sebelumnya, Ketua Umum Perhimpunan Bank Perekonomian Rakyat Indonesia (Perbarindo) Tedy Alamsyah juga mengatakan BPR menghadapi berbagai tantangan sejauh ini. Dalam hal kredit bermasalah misalnya, BPR menghadapi tantangan kebijakan restrukturisasi Covid-19.
"Beberapa pelaku industri telah mengurangi kredit-kredit restrukturisasi sebagai akibat adanya relaksasi Covid-19, sehingga kredit yang ada telah dinormalisasi, akibatnya terjadi kenaikan NPL," ujarnya.