Bisnis.com, JAKARTA -- Pengamat asuransi sekaligus Ketua Sekolah Tinggi Manajemen Risiko dan Asuransi (STIMRA), Abitani Taim, mengimbau perusahaan asuransi untuk mengantisipasi dampak inflasi medis agar tidak berujung pada kenaikan iuran premi asuransi kesehatan yang signifikan.
Abitani menjelaskan inflasi biaya medis yang terus meningkat memaksa perusahaan asuransi untuk menyesuaikan tarif premi asuransi kesehatan guna memastikan kemampuan perusahaan dalam membayar klaim peserta. Namun, di tengah daya beli masyarakat yang sedang menurun, perusahaan asuransi harus lebih bijak dalam mengambil langkah.
“Perusahaan asuransi perlu mengadopsi strategi efisiensi dan optimalisasi teknologi dalam operasional mereka, sehingga kenaikan net premi dapat diimbangi dengan penghematan biaya operasional. Dengan demikian, kenaikan tarif premi tidak akan terlalu tinggi,” ujar Abitani kepada Bisnis, Rabu (14/8/2024).
Abitani juga menambahkan bahwa perusahaan asuransi seharusnya menyesuaikan produk yang ditawarkan dengan kebutuhan masyarakat, mengingat prioritas belanja masyarakat saat ini lebih selektif.
“Perusahaan perlu fokus pada produk asuransi kesehatan yang benar-benar dibutuhkan oleh masyarakat, karena mereka akan lebih memprioritaskan pengeluaran yang dianggap penting,” tambahnya.
Sebelumnya, Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Penjaminan, dan Dana Pensiun (PPDP) OJK, Ogi Prastomiyono, mengatakan salah satu faktor yang mendorong kenaikan premi asuransi kesehatan pada periode Juni 2024 adalah adanya inflasi biaya medis. Sampai Juni 2024, premi asuransi kesehatan untuk asuransi umum mencapai Rp4,81 triliun atau naik sebesar 16,88%.
Baca Juga
Ogi menjelaskan, berdasarkan perkiraan Mercer Marsh Benefits (MMB) Health Trends 2024, inflasi medis di Indonesia masih akan berada di angka 13% pada 2024.
"Hal tersebut juga menjadi pemicu bagi perusahaan asuransi untuk menaikkan premi asuransi kesehatan, untuk memastikan perusahaan memiliki dana yang cukup untuk menanggung biaya kesehatan bagi pemegang polis," kata Ogi.