Bisnis.com, JAKARTA – Bank-bank di Indonesia mulai memutar otak untuk menghadapi tekanan likuiditas yang semakin kompleks. Pasalnya, persaingan dalam menarik Dana Pihak Ketiga (DPK) kian ketat di tengah upaya Bank Indonesia mengoptimalkan Sekuritas Rupiah BI (SRBI) untuk menarik modal asing dalam upaya memperkuat rupiah.
Pengamat Perbankan dan Praktisi Sistem Pembayaran dan Dosen Tidak Tetap Perbanas Institute Jakarta Arianto Muditomo mengatakan bahwa kenaikan suku bunga SRBI bertujuan untuk mendorong masuknya dana asing ke dalam negeri sekaligus menarik kembali dana investor domestik yang diinvestasikan di luar negeri.
“Secara teori dan praktis suku bunga surat berharga pemerintah akan menjadi acuan bisnis untuk memberikan pricing sisi dana dan pembiayaan,” ujarnya kepada Bisnis, Jumat (22/11/2024).
Bank, lanjutnya, harus menjaga likuiditas yang memadai sambil mengoptimalkan keuntungan dari gap suku bunga, dengan demikian kemampuan bank untuk menghimpun dana murah menjadi sangat penting.
“Bank harus mampu menciptakan daya tarik nasabah untuk menempatkan dananya tidak semata dari bunga tinggi,” ucapnya.
Arianto juga menambahkan bahwa dampak kenaikan biaya dana akan bergantung pada kemampuan masing-masing bank dalam mengelola gap suku bunga. Hal ini penting untuk memastikan kecukupan likuiditas yang diperlukan dalam membiayai ekspansi kredit baru dan memenuhi pencairan fasilitas pinjaman yang telah disepakati.
Sementara itu, dari sisi pemain, Direktur Utama BNI Royke Tumilaar mengatakan naiknya suku bunga SRBI tentu membuat bank makin berat untuk menurunkan suku bunga kredit.
Direktur Utama BNI (BBNI) Royke Tumilaar di acara peluncuran super app wondr by BNI di Jakarta, Jumat (5/7/2024). JIBI/Arlina Laras
Hal ini wajar, mengingat dengan Sekuritas Rupiah BI (SRBI) yang menawarkan imbal hasil yang menarik, bank harus mempertahankan suku bunga simpanan yang kompetitif agar deposan tidak memindahkan dananya ke SRBI.
Ketika suku bunga simpanan tetap tinggi, biaya dana (cost of funds) bank meningkat. Akibatnya, bank akan sulit menurunkan suku bunga kredit karena margin keuntungan mereka akan tertekan. Jadi, tingkat suku bunga simpanan secara langsung memengaruhi suku bunga kredit.
“Likuiditas akan banyak ke BI terutama dana pihak ketiga [DPK],” ujarnya kepada Bisnis, Kamis (21/11/2024).
Pada saat dihubungi terpisah, Corporate Secretary BNI Okki Rushartomo pun menyebut bahwa perseroan tetap mencermati perkembangan membaiknya kondisi likuiditas karena perlu menjaga keseimbangan antara laju pertumbuhan kredit dengan margin bunga bersih (Net Interest Margin/NIM) agar tetap optimal.
Perseroan memproyeksikan kondisi likuiditas akan membaik secara gradual sejalan dengan kebijakan moneter yang lebih ekspansif mulai kuartal IV/2024. Pihaknya pun memproyeksikan pertumbuhan kredit 2025 akan sejalan dengan ekspektasi pasar.
Dari sisi Dana Pihak Ketiga (DPK), strategi BNI adalah untuk menjaga pertumbuhan DPK selaras dengan tingkat pertumbuhan kredit, yang tercermin dari Loan to Deposit Ratio (LDR) yang terjaga pada level yang sehat di kisaran 90%-95%.
“Pertumbuhan DPK tersebut akan didukung dari berbagai program transformasi di BNI baik itu digitalisasi maupun pelayanan perbankan yang lebih relevan dengan kebutuhan nasabah,” ucapnya kepada Bisnis yang dikutip pada Jumat (22/11/2024).
Kekhawatiran soal likuiditas juga disampaikan Direktur Utama Bank Mandiri Darmawan Junaidi yang menyebut meskipun terjadi penurunan suku bunga beberapa waktu lalu, pengetatan likuiditas tetap tidak terelakkan. Hal ini karena SRBI terus menawarkan yield yang tinggi, sehingga membuat biaya dana tetap tinggi.
Akibatnya, kata dia, pasar kini memiliki alternatif selain menempatkan dana di produk perbankan konvensional, yaitu pada instrumen yang menawarkan yield lebih tinggi.
"Sehingga, saat ini tren penurunan suku bunga tidak langsung diikuti oleh reaksi pasar, karena masyarakat sudah melihat ada channel yang ekspektasi yield lebih tinggi, suku bunga tren turun tapi secara agregat CoF [biaya dana] semua bank meningkat," ujarnya.
Namun, bukan berarti tak ada cahaya di ujung lorong. Dalam keterangan Corporate Secretary Bank Mandiri Teuku Ali Usman menyebutkan bahwa Bank Mandiri memiliki ekses likuiditas yang ada di instrumen Treasury yang juga dapat membantu kebutuhan likuiditas baik untuk ekspansi bisnis maupun kegiatan operasional bank.
“Ke depannya, Bank Mandiri yakin bahwa DPK akan tetap menjadi sumber utama dalam menopang pertumbuhan kredit,” katanya kepada Bisnis, Jumat (22/11/2024).
Dia pun menyampaikan dalam menjalankan fungsi utama bank sebagai lembaga intermediasi, pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) Bank Mandiri menjadi pemeran utama dalam menopang ekspansi kredit bank. Per September 2024, Bank Mandiri berhasil menggalang DPK sebesar Rp1.667,5 triliun, naik 14,9% secara tahunan (YoY).
Sebagaimana diketahui, Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo telah mengambil sikap, di mana SRBI dianggap menjadi salah satu instrumen yang dapat menahan depresiasi rupiah tidak semakin dalam.
Perry menyampaikan meski rupiah mengalami depresiasi sebesar 2,74% sepanjang tahun ini (hingga 19 November) dari akhir 2023, namun tidak sedalam mata uang negara lain seperti dolar Taiwan, peso Filipina, dan won Korea yang masing-masing terdepresiasi sebesar 5,26%, 5,83%, dan 7,53%.
Tercatat, suku bunga SRBI untuk tenor 6, 9, dan 12 bulan tanggal 15 November 2024 tercatat masing-masing pada level 6,79%, 6,85%, dan 7,07%, tetap menarik untuk mendukung aliran masuk modal asing. Posisi tersebut lebih tinggi dari suku bunga SRBI untuk tenor 6, 9, dan 12 bulan tanggal 11 Oktober 2024 tercatat masing-masing pada level 6,69%, 6,79%, dan 6,84%.
Sementara itu, pada Oktober 2024, suku bunga simpanan berjangka pada tenor 3 bulan, 6 bulan, dan 12 bulan masing-masing sebesar 5,53%, 5,58% dan 5,92% pada Oktober 2024. Setelah pada September 2024 masing-masing tercatat sebesar 5,52%, 5,55% dan 5,89%.
Di sisi lain, suku bunga simpanan tenor 1 dan 24 bulan tercatat masing-masing sebesar 4,75% dan 4,29% turun dibandingkan September 2024 sebesar 4,77% dan 4,34%.