Bisnis.com, JAKARTA – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) merilis Peraturan OJK (POJK) No. 26/2024 tentang Perluasan Kegiatan Usaha Perbankan yang berlaku efektif sejak 13 Desember 2024.
Secara umum, terdapat setidaknya 7 poin yang diatur dalam beleid ini. Pertama adalah penyesuaian cakupan perusahaan anak (investee) bank umum agar selaras dengan UU P2SK, kedua yaitu kegiatan penyertaan modal oleh Bank Perekonomian Rakyat (BPR) atau BPR Syariah (BPRS).
Poin ketiga mencakup pengalihan piutang oleh bank umum serta BPR/BPRS, keempat mengatur penjaminan oleh Bank Umum, sedangkan yang kelima ialah pemanfaatan tanda tangan elektronik (TTE) dan perjanjian elektronik oleh bank umum.
Lebih lanjut, poin keenam memuat ketentuan penyelenggaraan Kegiatan Usaha Penukaran Valuta Asing (KUPVA) oleh bank, sementara poin terakhir berkaitan dengan produk perbankan syariah.
Kecuali ketentuan penyertaan modal BPR/BPRS yang mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2025, POJK ini berlaku sejak tanggal diundangkan pada 13 Desember 2024.
Ketentuan Penyertaan Modal Bank
Secara spesifik, Bab II beleid ini mengatur perihal kegiatan penyertaan modal oleh bank umum, khususnya pada Pasal 2. Terdapat perubahan dari aturan sebelumnya yang menyangkut lingkup penyertaan modal oleh bank konvensional maupun bank syariah.
Baca Juga
Pasal 2 ayat (1) menjelaskan bahwa bank umum konvensional dilarang melakukan penyertaan modal selain kepada dua pihak, yakni lembaga jasa keuangan dan/atau perusahaan lain yang mendukung industri perbankan.
Regulasi sebelumnya membatasi penyertaan modal hanya kepada “perusahaan yang bergerak di bidang keuangan”. Artinya, terdapat penambahan jenis pihak yang menerima penyertaan modal tersebut.
Hal serupa berlaku pada Pasal 2 ayat (2) yang mengatur penyertaan modal oleh bank syariah. Sebelumnya, kegiatan tersebut hanya dapat dilakukan kepada perusahaan yang bergerak di bidang keuangan berdasarkan prinsip syariah.
Namun, POJK No.26/2024 memperbarui ketentuan itu. Bank syariah saat ini dapat melakukan penyertaan modal kepada lembaga jasa keuangan berprinsip syariah; serta lembaga non-keuangan yang mendukung industri perbankan syariah, yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah.
Lebih lanjut, aturan ini juga memerinci pihak-pihak yang dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 2 ayat (2).
Perusahaan lain yang mendukung industri perbankan dan lembaga non-keuangan yang mendukung industri perbankan syariah yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah, terdiri atas:
a. perusahaan yang didirikan atau kegiatan usahanya diutamakan untuk mendukung kegiatan usaha Bank Umum dan/atau perusahaan anak Bank Umum;
b. perusahaan yang memanfaatkan penggunaan teknologi informasi untuk menghasilkan produk keuangan sebagai bisnis utama;
c. perusahaan yang secara karakteristik bisnis ditujukan untuk mendukung kegiatan usaha industri perbankan; dan
d. perusahaan yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia, dengan memenuhi kriteria, yakni:
1) berdasarkan ketentuan atau pernyataan dari otoritas yang berwenang merupakan lembaga jasa keuangan; dan
2) kegiatan usahanya dapat dipersamakan dengan kegiatan usaha dari lembaga jasa keuangan sesuai dengan Undang-Undang mengenai Otoritas Jasa Keuangan.
Poin-poin itu lebih terperinci apabila dibandingkan dengan ketentuan terdahulu. Sebelumnya, perusahaan yang bergerak di bidang keuangan hanya terbagi menjadi tiga jenis.
Ketiganya yakni perusahaan berupa lembaga jasa keuangan; perusahaan yang memanfaatkan penggunaan teknologi informasi untuk menghasilkan produk keuangan sebagai bisnis utama; serta lembaga pengelola informasi perkreditan.