Bisnis.com, JAKARTA – Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan memastikan kenaikan manfaat tunai Jaminan Kehilangan Pekerja (JKP) tidak mengganggu keuangan badan.
Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) adalah program jaminan sosial yang diselenggarakan BPJS Ketenagakerjaan untuk pekerja ataupun buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK). JKP yang dikenal dengan tunjangan pengangguran itu dibayarkan dalam bentuk uang tunai 60% dari gaji yang dilaporkan, akses informasi pasar kerja, dan pelatihan kerja. Meski demikian, untuk mendapatkan hak atas JKP, pekerja harus terdaftar terlebih dahulu dalam program ini.
Saat ini, Presiden Prabowo menetapkan penambahan manfaat JKP atau tunjangan pengangguran bagi korban PHK menjadi 60% dari upah peserta terakhir, maksimal Rp5 juta, dan dibayarkan secara flat selama 6bulan. Sebelumnya, manfaat tunai ini dibayarkan bertahap, 45% pada tiga bulan pertama dan 25% pada tiga bulan kedua.
Deputi Komunikasi BPJS Ketenagakerjaan Oni Marbun memastikan ketahanan dana kelolaan JKP memadai untuk mengakomodir kenaikan manfaat tersebut.
"Tentu kenaikan manfaat JKP menjadi 60% merupakan langkah baik pemerintah untuk membantu pekerja yang terkena dampak PHK. Dari sisi ketahanan dana program JKP hingga saat ini dikategorikan sehat," kata Oni kepada Bisnis, Senin (17/2/2025).
Adapun per Desember 2024, dana kelolaan BPJS Ketenagakerjaan mencapai sebesar Rp791,65 triliun, dengan porsi terbesar ada pada program Jaminan Hari Tua (JHT) yakni sebanyak Rp489,23 triliun, Jaminan Pensiun (JP) Rp189,15 triliun, Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) Rp67,31 triliun, Jaminan Kematian (JKM) Rp17,36 triliun, Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) Rp14,92 triliun dan dana badan BPJS Rp13,66 triliun.
Baca Juga
Pada periode yang sama, BPJS Ketenagakerjaan telah membayarkan sebanyak 4,02 juta kasus klaim pengajuan manfaat dengan nominal total Rp57,12 triliun. Program JHT menjadi program dengan jumlah nominal klaim tertinggi dengan persentase sekitar 83% dari total klaim yang ada.
Oni melanjutkan, regulasi yang menjadi payung hukum penyesuaian manfaat JKP tersebut, di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2025 tentang perubahan atas PP 37/2021 tentang Penyelenggaraan Program JKP, menjadi sangat penting bagi BPJS Ketenagakerjaan dalam menjalankan Paket Kebijakan Ekonomi yang telah digulirkan beberapa waktu lalu.
"Sebagai Badan yang ditunjuk untuk mensejahterakan pekerja, kami sangat mendukung upaya pemerintah dalam menjaga pertumbuhan ekonomi dan daya beli masyarakat," pungkasnya.
Setali tiga uang, Anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) Mickael Bobby Hoelman, alias Choki, mencatat pemanfaatan klaim JKP saat ini masih rendah sehingga memberikan cukup ruang untuk penyesuaian penambahan manfaat.
"Klaim manfaat JKP sebelumnya juga masih rendah. Faktor lainnya, kepesertaan JKP juga cukup reliable dengan kurang lebih 58% pesertanya didominasi pekerja usia muda, 20 sampai 35 tahun," kata Choki.
Choki melihat salah satu faktor klaim JKP masih rendah adalah karena masa daluarsa pengajuan klaim JKP hanya tiga bulan terhitung sejak peserta terkena PHK. Namun, melalui revisi dalam PP 6/2025 pemerintah memberikan waktu yang lebih lama yakni menjadi enam bulan. Perubahan ini menurutnya memberikan kepastian bagi peserta terdampak PHK agar benar-benar terlindungi dan mendapatkan hak mereka.
"Sebelumnya realisasi JKP cukup rendah, salah satunya karena masa daluarsanya cukup pendek terharap proses klaim manfaat. Pada semester I/2024 misalnya realisasi hanya 51% terhadap peserta aktif hingga 78% terhadap PHK tercatat," pungkasnya.