Bisnis.com, JAKARTA – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sedang menyusun Rancangan Surat Edaran OJK tentang Penyelenggaraa Produk Asuransi Kesehatan. Salah satu poinnya mengatur bahwa produk asuransi kesehatan harus memuat fitur koordinasi manfaat atau Coordination on Benefit (CoB).
Direktur Eksekutif Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) Cipto Hartono mengatakan dalam waktu dekat OJK akan menetapkan rancangan tersebut menjadi SE. Kata dia, besar kemungkinan ketentuan produk asuransi kesehatan harus memuat fitur CoB tidak berubah.
"Dalam RSEOJK yang akan segera diterbitkan tampaknya akan ada ketentuan yang mengatur bahwa produk asuransi kesehatan wajib memiliki fitur koordinasi manfaat dengan BPJS Kesehatan," kata Cipto kepada Bisnis, Rabu (19/3/2025).
Dalam ketentuan pembagian beban biaya klaim skema CoB tersebut, pihak perusahaan asuransi swasta mendapatkan porsi yang lebih besar daripada yang ditanggung BPJS Kesehatan. Dalam hal ini, Cipto menjelaskan apakah konsekuensi dari kewajiban itu akan membuat premi asuransi kesehatan menjadi lebih mahal.
"Terkait dampaknya terhadap premi, pada dasarnya bisnis akan tetap berjalan sebagaimana mestinya (business as usual). Premi asuransi kesehatan tidak hanya ditentukan oleh skema CoB, tetapi juga dipengaruhi oleh berbagai faktor lain," terangnya.
Cipto juga mengatakan ketentuan asuransi swasta menanggung beban lebih besar juga masih dalam batas wajar karena dibatasi aturan bahwa tarif yang dapat ditagihkan oleh rumah sakit sebesar 200% dari Tarif INA-CBG. Tarif INA-CBG, atau Indonesian-Case Based Groups adalah besaran pembayaran klaim oleh BPJS Kesehatan kepada Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan atas paket layanan yang didasarkan kepada pengelompokan diagnosis penyakit dan prosedur. Tarif INA-CBG ini diatur di dalam Permenkes 3 Tahun 2023.
Baca Juga
Lebih lanjut, Cipto menjabarkan faktor-faktor penentu harga premi yang dia maksud tersebut antara lain seperti riwayat klaim tertanggung yang menjadi dasar dalam penentuan tarif premi, tren inflasi biaya medis yang terus mengalami kenaikan setiap tahunnya, hingga faktor struktur manfaat dalam polis, termasuk cakupan manfaat dan batas maksimum pertanggungan.
"Meskipun terdapat skema CoB, tidak serta-merta premi asuransi kesehatan menjadi lebih murah atau mahal, karena perusahaan asuransi masih memiliki fleksibilitas dalam penyesuaian harga dan manfaat produk berdasarkan faktor risiko yang ada," pungkasnya.
Sementara itu, Fauzi Arfan, Ketua Bidang Produk, Manajemen Risiko, GCG Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) berpendapat apabila beban yang ditanggung asuransi swasta lebih besar, akan membuat harga polis kesehatan juga akan cenderung lebih mahal.
"Jika skema CoB mengharuskan asuransi swasta menanggung selisih biaya yang lebih besar, maka ada potensi premi produk dengan fitur CoB menjadi lebih tinggi dibandingkan produk yang tidak mengadopsi mekanisme ini. Namun, hal ini tetap bergantung pada strategi pricing masing-masing perusahaan asuransi dan skema manfaat yang ditawarkan," ujarnya.
Oleh karena itu Fauzi menilai pembagian beban dalam skema CoB antara asuransi swasta dengan BPJS Kesehatan perlu terus dievaluasi secara berkala apalagi di tengah kondisi dinamika biaya kesehatan yang dapat berubah.