Bisnis.com, JAKARTA - Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia hari ini, Rabu, 23 April 2025 diperkirakan akan mengumumkan menahan suku bunga acuan BI Rate pada level 5,75%. Estimasi ini seiring posisi Bank Indonesia yang harus memilih menjaga nilai tukar rupiah atau mendorong laju pertumbuhan ekonomi saat arus modal asing hengkang massal.
Keyakinan Bank Indonesia mempertahankan suku bunga acuan BI Rate April adalah Konsensus ekonom Bloomberg. Meski demikian, dari 29 ekonom yang dimintai pendapat tentang arah suku bunga acuan BI Rate Bank Indonesia, sebanyak dua pengamat masih meyakini bank sentral akan memangkas suku bunga acuan sebesar 25 basis poin.
Kepala Ekonom PT Bank Permata Tbk. (BNLI) Josua Pardede mengatakan BI bakal mengutamakan stabilitas nilai tukar di tengah ketidakpastian global yang tinggi akibat perang dagang, tekanan inflasi dari kebijakan tarif AS, serta volatilitas pasar keuangan internasional.
"Dengan mempertahankan suku bunga tetap di level 5,75%, BI berupaya menjaga daya tarik aset dalam negeri, sehingga mencegah capital outflow yang berpotensi memperlemah rupiah secara signifikan," ujarnya, Selasa (22/4/2025).
Dalam kondisi saat ini, Josua memandang pemangkasan suku bunga berisiko memperbesar tekanan defisit transaksi berjalan dan melemahkan stabilitas eksternal, terutama ketika ekspor terancam melemah akibat perang tarif global.
Baca Juga
Pilihan bank Indonesia ini di tengah proyeksi nilai tukar rupiah yang akan melewati Rp17.000 oleh sejumlah lembaga global. MUFG Bank Ltd. misalnya, memproyeksikan nilai tukar rupiah akan melemah hingga Rp17.100 per dolar dalam beberapa bulan mendatang.
Adapun Barclays Bank Plc. melihat adanya potensi rupiah akan tembus hingga Rp17.200 pada kuartal I/2026 dengan intervensi Bank Indonesia.
Pelemahan rupiah di tengah derasnya modal asing keluar dari pasar keuangan. Dalam catatan, lebih dari US$1 miliar dana kabur dari pasar saham dan US$428 juta dari pasar surat utang negara per April 2025.
Ekonom PT Bank Danamon Indonesia Tbk. (BDMN) Hosianna Evalita Situmorang mengatakan BI akan menjaga stabilitas rupiah di tengah tekanan eksternal yang tinggi sehingga BI akan tetap mempertahankan suku bunga acuan.
"Meski begitu, apabila tekanan rupiah mulai mereda pasca musim repatriasi dividen dan The Fed mulai bersikap lebih dovish, ruang pelonggaran suku bunga terbuka di paruh kedua," tuturnya.
Hosianna melihat potensi penurunan sebesar 25 bps ke 5,50% pada kuartal III/2025, dengan asumsi inflasi tetap terjaga dan arus modal mulai kembali stabil.
Sementara itu, arus investasi langsung juga terancam tersendat menyusul gambaran optimisme konsumen yang melemah. Bank Indonesia merilis indeks keyakinan konsumen (IKK) tercatat turun 5,3 poin pada Maret dari 126,4 pada Februari 2025 menjadi 121,1. Angka itu menjadi penurunan 3 bulan beruntun setelah IKK pada Februari turun 0,8 poin dan Januari 0,5 poin. Artinya, momentum Ramadan ternyata tidak mendongkrak daya beli secara signifikan.
Suara berbeda disampaikan Ekonom DBS Bank Ltd. Radhika Rao dan Lavanya Venkateswaran dari Oversea-Chinese Banking Corp. keduanya menyerukan penurunan suku bunga sebesar 50 basis poin hingga akhir tahun ini. Seruan ini di tengah proyeksi lebih rendahnya pertumbuhan PDB untuk tahun ini menjadi 4,7% dari 4,9% sebelumnya.
Kepala Ekonom Trimegah Sekuritas Fakhrul Fulvian mengatakan pemangkasan dapat mendorong pemulihan ekonomi dalam negeri di tengah pelemahan daya beli dan inflasi.
“Akan sangat bijaksana kalau Bank Indonesia mulai melanjutkan pemotongan suku bunga pada bulan April ini,” ujarnya dalam keterangan resmi, Selasa (22/4/2025).
Menurutnya, Indonesia seharusnya memanfaatkan momentum pelemahan rupiah untuk meningkatkan kinerja ekspor. Sebelumnya, Bank Indonesia memangkas suku bunga secara mengejutkan pada Januari 2025 untuk mendukung pertumbuhan ekonomi seiring tingkat inflasi yang rendah.
Meski demikian, Ekonom Bloomberg Tamara Mast Henderson mengatakan jika BI melakukan langkah yang mengejutkan dalam RDG besok, dipastikan akan semakin menekan rupiah yang saat ini sudah bertengger di atas Rp16.800an per dolar AS.
“Pemangkasan mengejutkan lainnya pada April, dapat semakin mengganggu stabilitas mata uang,” ujarnya, dikutip dari Bloomberg.
Proyeksi Nilai Tukar Rupiah
Tamara melihat bahwa nilai tukar rupiah telah jatuh lebih dari 2% terhadap dolar AS sejak RDG pada 19 Maret lalu, ketika sebagian besar mata uang Asia menguat.
“BI harus menyeimbangkan mata uang dan ambisi pertumbuhan. Perintaan domestik tidak sekuat yang diharapkan,” lanjut Tamara.
Pada penutupan perdagangan hari ini, Selasa (22/4/2025), rupiah berada pada level Rp16.859 per dolar AS, ditutup melemah 53 poin atau 0,32%. Sementara itu, indeks dolar AS terpantau menguat 0,04% ke 98,31.
Sementara itu, Ekonom Senior dan Associate Faculty Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) Ryan Kiryanto menekankan bahwa kestabilan rupiah menjadi penting karena bagi pelaku usaha berkaitan dengan penyusunan strategi pengembangan bisnis baik untuk eksportir maupun importir.
Melalui bauran kebijakan BI yang pro stabilitas dan pro pertumbuhan, diharapkan industri perbankan dan sektor riil tetap ekspansi secara terukur, hati-hati, dan terarah.
“Pelaku usaha tetap harus optimistis disertai sikap waspada yang tinggi untuk akomodatif dan antisipatif terhadap dinamika lingkungan ekonomi global dan lokal,” ujarnya.
Ryan memang melihat memang ada kemungkinan pemangkasan sebesar 25 bps dalam hasil pertemuan besok.
Meski demikian, kebijakan yang pro stabilitas—menahan suku bunga—untuk mendukung kestabilan rupiah di tengah inflasi domestik yang relatif rendah, diyakini lebih baik dalam situasi dan kondisi ekonomi maupun geopolitik global yang semakin tidak pasti.
Ketidakpastian diperparah dengan penundaan pengenaan tarif resiprokal oleh Presiden AS Donald Trump selama 90 hari, terhitung sejak 9 April 2025.
“Perkembangan kurs saat ini yang juga masih rentan terhadap sentimen eksternal yang tidak kondusif, dengan demikian maka pilihan terbaik untuk saat ini adalah BI tetap mempertahankan BI Rate di level 5,75%,” ujarnya.
Pilihan yang mungkin untuk saat ini, adalah bauran kebijakan. Di mana tetap pro stabilitas dengan menahan suku bunga dan pro pertumbuhan ekonomi melalui pelonggaran kebijakan makroprudensial dan sistem pembayaran.
Sinyal The Fed dan Bos Bank Sentral G7
Saat yang sama, Presiden Federal Reserve Bank of San Francisco Mary Daly mengatakan bank sentral AS kemungkinan besar menahan suku bunga lebih lama hingga akhir tahun karena risiko peningkatan inflasi akibat penerapan tarif resiprokal oleh Presiden Donald Trump.
Dilansir dari Bloomberg pada Sabtu (19/4/2025), Daly mengungkapkan risiko peningkatan inflasi pada tahun ini lebih tinggi dibandingkan tahun lalu. Konsekuensinya, The Fed harus mempertahankan kebijakan ketat lebih lama daripada yang diperkirakan.
"Namun, itu tidak berarti kebijakan ketat selamanya karena, pada akhirnya, inflasi akan turun," ujar Daly pada sebuah acara di Universitas California, Berkeley pada Jumat (18/4/2025).
Dia mengaku masih merasa nyaman dengan perkiraan median dalam Ringkasan Proyeksi Ekonomi Fed pada Maret, yang menunjukkan dua kali penurunan suku bunga masing-masing sebesar 25 basis poin sepanjang sisa tahun ini.
Menurutnya jika inflasi akhirnya menurun maka The Fed harus melakukan penurunan suku bunga secara bertahap untuk menstimulus perekonomian. Kendati demikian, kepala The Fed San Francisco itu menekankan pihaknya tidak perlu terburu-buru.
“Kita punya banyak waktu, dan kita berada di posisi yang baik untuk menunggu sebentar," jelasnya.
Dia meyakini bank sentral berada di posisi yang solid untuk memutuskan kebijakan moneter yang ketat untuk terus menekan inflasi.
Daly menambahkan semua perusahaan yang dihubunginya memilih untuk tak banyak ambil risiko sehingga membatasi investasi dan memangkas proyeksi pembukaan lapangan kerja.
“Sejauh ini kami belum banyak mendengar tentang PHK. Kami belum banyak mendengar tentang menarik diri dan berdiam diri,” katanya.
Sejak awal 2025, The Fed telah menahan kebijakannya sebagai respons terhadap inflasi yang tinggi dan yang terbaru kebijakan perdagangan agresif Trump, yang ingin menaikkan tarif kepada hampir semua barang impor secara drastis.
Sebagian besar ekonom memperkirakan bea masuk akan menurunkan pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan inflasi, setidaknya dalam jangka pendek.
Sebelumnya, Ketua The Fed Jerome Powell—dan sejumlah pejabat Fed lainnya—sudah mengatakan bahwa bank sentral akan fokus untuk memastikan bahwa kenaikan harga barang-barang karena penerapan tarif resiprokal tidak memicu kenaikan inflasi terus-menerus.
Saat yang sama, bank sentral negara-negara maju yang tergabung dalam kelompok G7 pun bersiap merilis kebijakan moneter pertama mereka sebagai respons, meskipun kemungkinan akan menghasilkan pendekatan yang berbeda-beda.
Mengutip Bloomberg, Bank Sentral Kanada diperkirakan akan mempertahankan suku bunga pada Rabu (waktu setempat) guna mengantisipasi potensi inflasi akibat perang tarif yang tengah berlangsung dengan AS.
Sementara itu, Bank Sentral Eropa (ECB) dijadwalkan mengumumkan keputusannya pada keesokan harinya, dengan ekspektasi penurunan suku bunga.
Keputusan suku bunga dari Federal Reserve (The Fed) baru akan diumumkan pada 7 Mei mendatang. Untuk saat ini, perhatian pasar tertuju pada langkah ECB dan Bank of Canada (BoC) dalam menenangkan investor sambil menilai dampak ekonomi dari kebijakan proteksionis Trump.
Presiden ECB, Christine Lagarde, menyatakan pada pekan lalu (11/4/2025) bahwa pihaknya terus memantau situasi dan siap mengambil langkah jika diperlukan, mengingat stabilitas harga dan keuangan saling berkaitan.
Ini menjadi kali kedua dalam lebih dari dua tahun terakhir ECB dihadapkan pada dilema suku bunga akibat ketidakpastian dari AS sebelum The Fed mengambil tindakan. Saat krisis Silicon Valley Bank pada 2023 yang mengguncang pasar global, ECB tetap menaikkan suku bunga sebesar 0,5 poin seperti yang telah dijanjikan.
Namun kali ini, arah kebijakan ECB tampak lebih jelas. Tarif impor dari AS diperkirakan akan memperlambat pertumbuhan ekonomi Eropa. Karena Uni Eropa belum mengambil langkah balasan yang dapat memicu inflasi, ECB diprediksi akan menurunkan suku bunga sebesar 0,25 poin.
Di sisi lain, Kanada menghadapi pertimbangan yang lebih kompleks. Meski tarif Trump mulai menekan investasi bisnis dan belanja konsumen, ekspektasi inflasi justru meningkat. Data indeks harga konsumen yang akan dirilis Selasa diperkirakan menjadi penentu utama keputusan suku bunga BoC.
“Keputusan suku bunga ECB pada 17 April tampaknya menjadi lebih mudah. Selain dampak langsung dari tarif AS terhadap ekonomi kawasan euro, Dewan Pemerintahan juga harus mempertimbangkan pengaruh penguatan mata uang euro,” jelas ekonom Bloomberg, yakni David Powell dan Simona della Chiaie.