Bisnis.com, JAKARTA — Industri asuransi Indonesia mencatatkan pertumbuhan premi yang positif sepanjang 2024. Namun, di balik angka-angka tersebut, kapasitas reasuransi domestik masih menjadi sorotan akibat ketimpangan antara modal dan besaran risiko yang harus diserap.
Data yang dihimpun Bisnis menunjukkan, akumulasi pendapatan premi asuransi komersial nasional mencapai Rp336,65 triliun per akhir Desember 2024, tumbuh 4,91% secara tahunan (year-on-year/YoY). Dari total tersebut, premi asuransi umum dan reasuransi menyumbang Rp148,5 triliun atau tumbuh 3,50% YoY. Sementara premi asuransi jiwa naik 6,06% YoY menjadi Rp188,15 triliun.
Namun, di tengah laju pertumbuhan premi, kapasitas modal perusahaan reasuransi nasional masih jauh tertinggal. Total ekuitas sembilan perusahaan reasuransi domestik tercatat hanya sekitar Rp6,61 triliun, atau sekitar 22 kali lebih kecil dibandingkan perputaran premi sektor asuransi umum dan reasuransi yang nyaris menyentuh Rp150 triliun setahun.
Distribusi modal pun menunjukkan kesenjangan yang tajam. PT Reasuransi Indonesia Utama (Indonesia Re) memimpin dengan ekuitas Rp2,52 triliun, diikuti PT Tugu Reasuransi Indonesia (Tugure) dengan Rp1,52 triliun, serta PT Maskapai Reasuransi Indonesia (Marein) sebesar Rp1,45 triliun. Sementara itu, sejumlah pemain lain berada di bawah Rp1 triliun, bahkan ada yang mengalami defisit ekuitas, seperti PT Reasuransi Nasional Indonesia (Nasional Re) dengan minus Rp2,07 triliun.
Menanggapi kondisi ini, Deputi Komisioner Bidang Pengawasan Perasuransian, Penjaminan, dan Dana Pensiun Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Iwan Pasila, menekankan pentingnya penguatan permodalan dan perbaikan tata kelola risiko di industri reasuransi nasional.
“Ketentuan permodalan dimaksudkan untuk meningkatkan kapasitas kemampuan keuangan, namun hal ini harus ditopang dengan kemampuan untuk melakukan proses underwriting dengan lebih baik,” kata Iwan kepada Bisnis pada Kamis (8/5/2025).
Baca Juga
Iwan menegaskan bahwa kemampuan perusahaan reasuransi untuk menyerap risiko tak hanya bergantung pada besaran modal, tetapi juga proses seleksi risiko yang dijalankan. Menurutnya, penggunaan kecanggihan teknologi digital harus didorong untuk mempermudah pengelolaan data yang dibutuhkan dalam meneliti risiko yang ada serta untuk mengembangkan cara baru dalam mengelola risiko yang ada saat ini.
“Penggunaan AI untuk memudahkan proses underwriting atas risiko yang sebelumnya tidak bisa diunderwrite akan membantu perusahaan asuransi dan reasuransi dalam mengelola risiko dengan lebih baik dan meningkatkan kapabilitas dalam menampung risiko,” ujar Iwan.
Selain itu, OJK juga mendorong perusahaan reasuransi untuk lebih disiplin dalam memanfaatkan data pertanggungan, yang dinilai krusial untuk mempercepat dan memastikan akurasi penyelesaian klaim. Hal ini, menurut Iwan, sekaligus akan membangun basis data yang memadai guna menilai risiko secara lebih presisi di masa mendatang.
“Kami saat ini terus mendorong perusahaan asuransi dan reasuransi untuk menggunakan data pertanggungan dengan disiplin, sehingga dapat memastikan proses penyelesaian klaim dengan lebih cepat dan lebih akurat, serta untuk membangun database yang memadai untuk menilai risiko yang ada dengan lebih baik ke depan,” ujarnya.
OJK juga meminta perusahaan reasuransi nasional untuk aktif melakukan riset atas portofolio risiko yang ditutupnya, demi meningkatkan kualitas proses seleksi risiko yang sederhana namun akurat.
“Kami juga mendorong perusahaan reasuransi untuk melakukan penelitian atas risiko yang mereka tutup dari seluruh perusahaan asuransi di Indonesia untuk memberikan saran baru dalam melakukan seleksi risiko dengan lebih sederhana namun dengan kualitas dan akurasi yang lebih baik,” tutup Iwan.