Bisnis.com, JAKARTA – Lembaga riset IFG Progress merilis terdapat tujuh sektor ekonomi di dalam Kuadran I yang mencakup sektor-sektor dengan tekanan ekonomi tinggi dan yang biasanya kontribusi besar dalam pendapatan premi industri asuransi terdampak kebijakan tarif resiprokal Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump
Tujuh sektor tersebut adalah industri jasa keuangan perbankan, perdagangan besar dan eceran termasuk di dalamnya reparasi mobil dan sepeda motor, real estate, informasi dan komunikasi, transportasi dan pergudangan, pertambangan dan penggalian, serta industri pengolahan.
"Dampak tekanan pada sektor-sektor Kuadran I berpotensi menyebabkan penurunan premi, meningkatnya risiko klaim, dan gangguan pada kinerja portofolio investasi perusahaan asuransi," tulis riset yang bertanggal akhir Mei 2025 lalu dikutip Senin (9/6/2025)
Bila dipetakan, lini bisnis asuransi yang memiliki keterkaitan erat dengan sektor Kuadran I dan berpotensi terdampak mencakup asuransi properti, asuransi kendaraan bermotor, asuransi kredit, suretyship, asuransi rekayasa, asuransi liabilitas, asuransi marine cargo, asuransi satelit dan asuransi jiwa.
Aset Properti
Baca Juga
IFG Progress merinci, bagi asuransi properti kebijakan tarif Trump berpotensi berdampak dari aspek penurunan permintaan proteksi aset fisik dan risiko idle asset dari sektor-sektor yang ada di dalam Kuadran I.
Secara historis, sebelum munculnya tekanan akibat sentimen negatif kebijakan tarif lini bisnis asuransi properti menunjukkan performa yang relatif stabil. Dalam lima tahun terakhir, pertumbuhan rata-rata premi Compound Annual Growth Rate (CAGR) 5 tahun mencapai sekitar 7,8% per tahun, sedangkan klaim tumbuh sekitar 6,8%. Selain itu, rasio klaim juga terpantau cukup sehat dengan rata-rata berada di bawah 50%.
"Namun, pada akhir tahun 2024, data menunjukkan adanya perubahan tren. Pertumbuhan klaim melonjak tajam sebesar 24,8% secara tahunan (year on year/YoY), melampaui pertumbuhan premi yang hanya mencapai 14,6% pada periode yang sama. Kenaikan ini menandakan adanya tekanan terhadap profitabilitas asuransi properti, apalagi jika tren ini berlanjut," tulis riset tersebut.
Asuransi Kendaraan Bermotor
Berikutnya, bagi lini usaha asuransi kendaraan bermotor kebijakan tarif Trump berimplikasi dalam hal downside risk dari kenaikan harga bahan baku dan suku cadang yang berpotensi meningkatkan klaim dan membatasi pertumbuhan asuransi kendaraan bermotor.
IFG Progress mencatat kinerja asuransi kendaraan bermotor menghadapi tekanan berat akibat perbedaan kecepatan pertumbuhan premi dan klaim terutama dalam kurun waktu dua tahun terakhir.
Dalam kurun 2023-2024, pertumbuhan klaim meningkat lebih cepat dibandingkan pertumbuhan premi, mengakibatkan rasio kerugian yang terus naik yang terlihat dari loss ratio yang meningkat secara signifikan yang sudah mendekat level 50%-60% pada 2024.
Asuransi Kredi
Pada bisnis asuransi kredit, kebijakan tarif Trump berpotensi memberikan risiko turunan berupa pengetatan kredit yang akan semakin membebani kinerja asuransi kredit yang belum membaik.
Dalam dua tahun terakhir, lini bisnis asuransi kredit mencatatkan pertumbuhan klaim yang lebih tinggi dibanding pertumbuhan premi. Pada 2024 misalnya, pertumbuhan klaim asuransi kredit tercatat sebesar 9,5% YoY, sedangkan premi asuransi kredit terkontraksi di level -3,0% YoY. Dampak dari kondisi tersebut terlihat dari loss ratio asuransi kredit pada 2024 yang melonjak signifikan di level 85% dan menjadi level loss ratio paling tinggi diantara lini bisnis lainnya.
"Jika dirata-rata selama 5 tahun terakhir, loss ratio asuransi kredit sudah mencapai lebih dari 70%. Tingginya loss ratio tersebut berpotensi menekan profitabilitas perusahaan asuransi, terutama jika dikombinasikan dengan beban lain seperti biaya akuisisi dan biaya operasional," tulis IFG Progress.
Suretyship
Sementara bagi lini bisnis asuransi suretyship, IFG Progress menilai dampak tarif Trump cukup minor. Alasannya, kebijakan AS memang memiliki dampak yang cukup besar pada ketidakpastian ekonomi global namun pengaruhnya ke sektor konstruksi di Indonesia tidak terlalu signifikan.
Namun demikian, IFG Progress melihat potensi tekanan terhadap proyek-proyek real estate serta pembangunan fasilitas di sektor pergudangan dan industri pengolahan yang termasuk dalam Kuadran I dan seringkali melibatkan skema suretybond memungkinkan dapat memberikan dampak pada lini bisnis suretyship.
Asuransi Rekayasa
Berikutnya bagi lini usaha asuransi rekayasa atau engineering, IFG Progress mencatat ada potensi tertekan karena perlambatan pada sektor Kuadran I lainnya yaitu industri pengolahan dan pertambangan.
Sebelum munculnya tekanan akibat kebijakan tarif tersebut, kinerja lini asuransi rekayasa relatif stabil. Selama lima tahun terakhir, rata-rata pertumbuhan premi CAGR mencapai sekitar 8,4% per tahun. Sementara pertumbuhan klaim tercatat lebih rendah yakni sekitar 4,7% per tahun. Rasio klaim juga terjaga di bawah 70% yang menandakan performa yang masih sehat secara keseluruhan.
"Pada tahun 2024, pertumbuhan premi mengalami kontraksi sebesar -18% YoY, mencerminkan penurunan signifikan pada jumlah dan nilai proyek yang diasuransikan. Di sisi lain, jumlah klaim justru meningkat sebesar 7,5% YoY, yang mengindikasikan bahwa meskipun jumlah proyek menurun, risiko kerugian pada proyek yang tersisa justru cenderung meningkat," tulis riset tersebut.
Asuransi Liabilitas
Sedangkan untuk lini bisnis usaha asuransi liabilitas disebut berpotensi mengalami peningkatan klaim akibat gangguan proyek, rantai pasok dan ketidakpastian logistik global.
Secara historis, kinerja lini asuransi liabilitas dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan fluktuasi yang cukup signifikan, terutama akibat volatilitas nilai klaim. Meski pendapatan premi tumbuh relatif stabil dengan CAGR sebesar 14% selama periode 2019–2024, pertumbuhan klaim meningkat lebih cepat dengan CAGR mencapai 21,5% pada periode yang sama.
Meski begitu, loss ratio masih tergolong moderat dan terkendali, dengan rata-rata di bawah 70%. Secara tren, puncaknya adalah pada masa pandemi yaitu 68% di kuartal III 2020 dan 63% di kuartal IV 2021.
Asuransi Marine Cargo
Untuk lini bisnis asuransi marine kargo, IFG Progress menjelaskan lini bisnis ini memiliki eksposur tinggi terhadap risiko ekspor dan ketidakpastian logistik global. Adanya kebijakan tarif Trump menyebabkan daya saing produk ekspor dari Indonesia ke Amerika Serikat akan menurun, yang berdampak pada penurunan volume pengiriman ke negara tersebut. Penurunan ini secara teoritis berpotensi menekan pendapatan premi asuransi marine cargo karena berkurangnya aktivitas pengangkutan lintas negara.
Menariknya, analisis data historis pendapatan premi asuransi marine cargo dan nilai ekspor Indonesia menunjukkan hubungan yang tidak bersifat linier. Dalam beberapa tahun terakhir, nilai ekspor Indonesia mencapai puncaknya secara kumulatif pada 2022 sebesar US$ 291,9 miliar, namun pertumbuhan premi marine cargo hanya berada di angka Rp4,8 triliun.
Tahun berikutnya, meskipun nilai ekspor turun ke US$ 258,8 miliar, pendapatan premi tetap meningkat ke Rp5,1 triliun. Sedangkan pada 2024 nilai ekspor sedikit membaik menjadi US$ 264,7 miliar yang diikuti oleh pertumbuhan premi ke level Rp5,3 triliun.
"Fakta ini menunjukkan bahwa pertumbuhan premi asuransi marine cargo tidak semata dipengaruhi oleh volume ekspor, melainkan juga oleh faktor-faktor lain seperti komposisi barang ekspor, peningkatan biaya logistic, risiko rantai pasok global, hingga perubahan struktur polis atau penyesuaian tarif premi," bunyi hasil riset tersebut.
Asuransi Satelit
IFG Progress menyebut ketegangan geopolitik yang muncul akibat kebijakan tarif Trump berpotensi menambah ketidakpastian dalam rantai pasok proyek satelit secara global, termasuk pengadaan logam ringan, semikonduktor dan peralatan teknologi tinggi yang umumnya diproduksi dan dirakit oleh negara-negara lain yang juga terkena tarif tinggi oleh Trump.
Bagi negara pengguna seperti Indonesia, kenaikan biaya akibat disrupsi rantai pasok tersebut dapat menunda keputusan investasi dan pembiayaan proyek satelit baru. Dalam konteks ini, dampak utama terhadap asuransi satelit adalah penurunan pendapatan premi karena proyek ditunda atau dibatalkan.
Di sisi lain, data global menunjukkan lonjakan signifikan aktivitas peluncuran ke luar angkasa dalam beberapa tahun terakhir. Jumlah peluncuran orbital melebihi 140 misi pada 2021, sementara satelit yang berhasil diluncurkan meningkat dari sekitar 400 unit pada 2017 menjadi lebih dari 1.800 unit pada 2021.
Sementara di Indonesia sendiri, kinerja pendapatan premi dan klaim asuransi satelit menunjukkan pola yang fluktuatif dalam periode 2021-2024. Pada 2022 terjadi lonjakan premi yang signifikan seiring dengan adanya proyek besar, namun tahun-tahun berikutnya justru menunjukkan penurunan tajam, baik dari sisi premi maupun klaim.
"Hal ini menegaskan bahwa demand terhadap asuransi satelit sangat bergantung pada realisasi proyek satelit dan bukan merupakan lini bisnis yang bersifat stabil dari tahun ke tahun," tulis riset IFG Progress.
Asuransi Jiwa
Tidak hanya berdampak pada lini bisnis asuransi umum yang lebih erat dengan aktivitas di sektor riil, kebijakan tarif Trump juga memiliki efek samping pada asuransi jiwa. Dalam konteks ini, tekanan ekonomi akibat kebijakan tarif Trump, meskipun tidak langsung menyasar sektor asuransi jiwa, tetap menimbulkan implikasi melalui tekanan daya beli dan volatilitas pasar keuangan.
IFG Progress menyebut kebijakan tarif Trump berdampak pada sektor-sektor yang terdapat di Kuadran I seperti industri pengolahan, perdagangan besar, transportasi, dan komunikasi yang selanjutnya berpotensi melakukan efisiensi anggaran perusahaan, termasuk pengurangan atau penghentian fasilitas kesejahteraan karyawan.
Dalam jangka pendek, hal ini dapat menekan recurring premium dan renewal rate pada produk asuransi jiwa kumpulan. IFG Progress mencatat hingga akhir 2024 total tertanggung asuransi jiwa di Indonesia mencapai 153 juta jiwa, di mana 133 juta di antaranya merupakan peserta asuransi kumpulan.
"Artinya, jika sektor riil mengalami tekanan ekonomi dan terjadi pengurangan coverage asuransi jiwa dari pemberi kerja, maka jumlah masyarakat yang tidak memiliki perlindungan asuransi jiwa dapat meningkat signifikan," tulis riset tersebut.