Bisnis.com, JAKARTA – Konsorsium asuransi untuk perlindungan bencana sedang disiapkan. Konsorsium ini nantinya akan menyediakan produk asuransi parametrik bencana alam dan ditargetkan program ini bisa dimulai pada 2026.
Direktur Teknik Operasi PT Reasuransi Indonesia Utama (Persero) atau Indonesia Re Delil Khairat mengatakan pada 2024 Indonesia Re bersama PT Maipark Indonesia dan Institut Teknologi Bandung (ITB) diberikan mandat oleh Kementerian Keuangan (Kemenkeu) untuk melakukan riset dan mendesain produk asuransi parametrik yang memproteksi bencana alam di Indonesia.
"Dalam sisa 2025 ini kami fokus pada penguatan fitur produk asuransi parametrik dan juga skemanya, bagaimana konsorsium dibuat, dan dari Kementerian Keuangan menyiapkan perangkat peraturannya dalam bentuk Peraturan Menteri Keuangan (PMK) dan Keputusan Menteri Keuangan (KMK)," kata Delil dalam Seminar Disaster Risk Financing and Insurance (DFRI) Indonesia, di Jakarta, Kamis (12/6/2025).
Rencananya produk asuransi parametrik bencana ini akan dilakukan oleh asuransi umum dan reasuransi seperti halnya Konsorsium Asuransi Barang Milik Negara (KABMN). Bedanya, KABMN ini produknya berupa asuransi properti dan objek pertanggungannya adalah properti atau barang milik negara yang dimiliki kementerian/lembaga.
"Tapi yang kita bangun sekarang asuransi parametrik, adalah asuransi yang memberi proteksi fiskal. Ini artinya anggaran belanja negara, APBN dan APBD. Jadi yang menjadi tertanggungnya itu pemerintah, pemerintah daerah dan pemerintah pusat, bukan lembaganya. Kalau di KABMN kan kementerian dan lembaga milik pemerintah, tapi ini pemerintah sendiri," ujarnya.
Delil menjelaskan basis dari produk asuransi parametrik bencana ini adalah kota dan kabupaten. Dengan begitu, setiap pemerintah daerah baik kota maupun kabupaten akan menggunakan anggarannya untuk membayar premi asuransi parametrik bencana alam.
Baca Juga
Pada tahap awal, asuransi parametrik bencana ini akan memberi perlindungan bagi dua risiko bencana, yaitu gempa bumi dan banjir. Delil mencontohkan, ketika di suatu tempat terjadi gempa bumi dengan magnitude tertentu yang telah memenuhi parameter yang ditetapkan, maka pemerintah daerah setempat langsung mendapatkan pencairan dana atau klaim secara instan tanpa ada perhitungan ulang berapa besar risiko bencana.
"Begitu parameter tercapai, maka instant pay out kita berikan sehingga dana segar itu bisa digunakan oleh pemerintah daerah untuk melakukan emergency first response dulu, dan mungkin juga dilanjutkan dengan rehabilitasi," terangnya.
Delil menjelaskan pihak yang akan menanggung risiko dalam produk asuransi parametrik bencana ini adalah pihak konsorsium dalam negeri, tetapi tidak menutup kemungkinan sebagian risiko juga akan dialihkan ke reasuransi luar negeri.
Adapun untuk mengetahui nilai anggaran pemerintah yang akan disiapkan untuk dibayarkan sebagai premi, Delil menjelaskan hal itu akan tergantung dari PMK dan KMK yang disusun Kementerian Keuangan. "Tapi ketika kita desain bersama-sama tahun lalu, kita berasumsi sekitar Rp200-300 miliar," tegasnya.
Dalam perkembanganya, Delil melihat ada indikasi pemerintah menambah komitmen mereka sehingga anggaran yang dialokasikan untuk asuransi parametrik bencana ini kemungkinan akan lebih besar dari rencana awal.
"Tapi seberapa besar tidak bisa dipastikan, akan tergantung kondisi fiskal negara. Mungkin bisa jadi Rp1 triliun dipersiapkan untuk proyek ini," tegasnya.
Dengan alokasi yang lebih besar, Delil memastikan benefit atas proteksi risiko bencana alam semakin besar dan luas serta bisa menjamin keberlanjutan program ini untuk tahun-tahun ke depan.
Dalam forum yang sama, Kepala Divisi Pengawasan Asuransi Umum dan Reasuransi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Kurnia Yuniakhir menjelaskan saat ini masih terjadi gap yang cukup jauh antara dana cadangan risiko fiskal untuk bencana yang dialokasikan pemerintah dengan nilai yang dibutuhkan sebenarnya.
"Dana cadangan risiko fiskal untuk bencana hanya sekitar Rp4 triliun, sedangkan kebutuhannya Rp22 triliun," kata Kurnia.