Bisnis.com, JAKARTA — Ruang pelonggaran suku bunga acuan Bank Indonesia atau BI Rate diperkirakan semakin terbatas, seiring dengan kebijakan fiskal ekspansif di Amerika Serikat.
Adapun, Senat AS telah meloloskan Undang-Undang Pajak dan Belanja usulan Presiden Donald Trump. Beleid yang Trump sebut sebagai Big Beautiful Bill itu akan menciptakan stimulus fiskal yang besar.
Stimulus tersebut mencakup pemangkasan pajak permanen untuk kelas menengah, pemotongan pajak bisnis, serta peningkatan belanja pemerintah secara agresif di sektor pertahanan, infrastruktur, dan program sosial.
Kepala Ekonom PT Bank Permata Tbk. (BNLI) Josua Pardede menilai stimulus tersebut mendorong pertumbuhan ekonomi AS secara signifikan dalam jangka pendek. Hanya saja dalam jangka menengah dan panjang, muncul risiko pelebaran defisit fiskal yang cukup besar.
Misalnya berdasarkan analisis Komite Pajak Gabungan (Joint Tax Committee) independen, ketentuan pajak dalam RUU ini akan mengurangi pendapatan pemerintah sebesar US$4,5 triliun dalam 10 tahun ke depan sehingga memperbesar beban utang nasional.
Akibatnya, ujar Josua, inflasi diperkirakan meningkat karena lonjakan permintaan agregat tanpa diiringi peningkatan produktivitas yang sepadan. Implikasi utama yaitu kebijakan suku bunga bank sentral AS, Federal Reserve alias The Fed, yang kemungkinan besar akan menahan suku bunga tinggi lebih lama dari perkiraan sebelumnya.
Baca Juga
“Inflasi yang tinggi dan defisit anggaran yang melebar akan memberi tekanan bagi The Fed untuk mempertahankan stance moneter ketat agar inflasi tetap terkendali. Kondisi ini berpotensi menciptakan implikasi signifikan terhadap aliran modal internasional, termasuk di Indonesia,” ujar Josua, dikutip pada Senin (7/7/2025).
Dia menjelaskan bahwa bagi pasar keuangan Indonesia, kebijakan fiskal ekspansif AS ini dapat mendorong aliran modal keluar dalam jangka pendek dan menengah. Pasalnya, suku bunga AS yang tetap tinggi dalam periode yang lebih lama akan meningkatkan daya tarik investasi di AS dibandingkan di negara-negara berkembang seperti Indonesia.
Mau tak mau, terjadi peningkatan risiko pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS sehingga dapat menciptakan tekanan terhadap stabilitas pasar finansial domestik, meningkatkan volatilitas di pasar saham dan obligasi, serta meningkatkan risiko likuiditas dan biaya utang luar negeri.
Dia menambahkan, dalam situasi ini, Bank Indonesia (BI) akan menghadapi dilema kebijakan. Di satu sisi, inflasi domestik masih relatif rendah sehingga secara fundamental ada ruang untuk penurunan suku bunga.
Di sisi lain, risiko arus modal keluar yang meningkat akibat imbal hasil aset keuangan AS yang lebih menarik membuat BI harus lebih berhati-hati.
“Bank Indonesia kemungkinan akan lebih berhati-hati dan menahan suku bunga tinggi lebih lama demi menjaga stabilitas rupiah dan mencegah risiko aliran modal keluar,” jelas Josua.
Dia pun mendorong BI untuk fokus menjaga stabilitas nilai tukar dalam jangka pendek. Strategi seperti intervensi pasar valas, penguatan instrumen pasar uang, serta optimalisasi cadangan devisa dinilai akan tetap menjadi andalan otoritas moneter dalam menjaga stabilitas pasar keuangan domestik.
Selain itu, koordinasi antara kebijakan fiskal dan moneter juga menjadi kunci untuk menjaga ketahanan ekonomi nasional menghadapi tekanan eksternal. Dari sisi fiskal, Josua menilai pemerintah perlu menjaga konsolidasi fiskal secara kredibel dengan memastikan defisit APBN tetap terkendali dan mengoptimalkan produktivitas belanja negara, terutama di sektor-sektor yang memberikan efek berganda tinggi terhadap ekonomi nasional.
“Memperkuat basis penerimaan pajak juga menjadi hal krusial di tengah situasi eksternal yang menekan,” tambahnya.
Adapun BI dijadwalkan akan mengumumkan nasib BI Rate pada 16 Juli 2025. Sementara itu, The Fed akan mengumumkan nasib Fed Fund Rate pada 30 Juli waktu setempat.