"One of worst enemy of your budget is impulsive buying behavior"
Anda tentu pernah membaca di media massa berita tentang barisan panjang antrean ketika sebuah model handphone baru dipasarkan. Bahkan yang terjadi bukan cuma antrean berjam-jam untuk mendapatkan 'tablet' istimewa itu, tapi juga berdesak-desakan, ada yang cedera, perkelahian dan pengrusakan.
Boleh jadi hanya di Jakarta, antrean untuk inden mobil tipe baru yang belum beredar mencapai ratusan ribu pemesan yang rela menyetor uang muka dan sabar menunggu berbulan-bulan sampai mobil baru tersebut diluncurkan di pasar.
Gejala serupa terjadi pada penawaran apartemen di lokasi lokasi prima. Mereka berebut membeli bangunan yang baru bisa dilihat maketnya. Di Negara jiran yang lebih maju, Singapura, saya pernah beberapa kali menyakskan para remaja yang harus mengambil nomor urut hanya untuk bisa bergantian memasuki toko pakaian yang sedang melakukan big sale.
Ketika beberapa waktu lalu, RIM mengumumkan bahwa harga playbook diturunkan menjadi $300, dalam waktu singkat semua department stores yang menjual barang tersebut memasang tulisan sold out.
"Impulse buying is a common behavior today. Our culture of consumption enables us to succumb to temptation and purchase something without considering the consequences of the buy," tulis Dr. Zimmerman (2012).
Padahal impulsive buying merupakan perusak terbesar terhadap disiplin budget yang telah saya tulis beberapa waktu lalu. Kalau kita rajin mendengar celoteh para ibu--pada umumnya justeru kalangan menengah ke atas--tentang tagihan kartu kredit yang membengkak, uang belanja yang tidak pernah cukup, tumpukan barang yang kemudian ternyata tidak sepenuhnya dibutuhkan, atau dibeli dengan tujuan utama "menaikkan gengsi".
Semua itu merupakan fenomena impulsive buying.
Rumusan sederhana tentang impulsive buying diberikan oleh Wikipedia. "An unplanned decision to buy product or service". Keputusan untuk membeli didominasi oleh dorongan emosi dan perasaan.
Instant gravitation yng berakar pada ketertarikan emosional, dengan mudah dieksploitasi oleh pesan pesan promosi dan atau tampilan produk yang menyihir. Para pakar mengakui bahwa pembelian produk produk seperti perhiasan, produk produk kecantikan dan mobil lebih banyak dodorong oleh luapan emosional ketimbang peertimbangan rasional.
Ian Zimmerman menyebut prilaku impulsive buying sebagai "more social status-conscious and image concern". Rook and Fisher (1995) bahkan menggunakan gambaran yang sangat cynical terhadap prilakuimpulsive buying.
Menyitir banyak kajian empiris yang mengokohkan hasil kajian mereka sendiri, Rook and Fisher menulis:"Impulsive behavior has a long history of being associated with immaturity, primitivism, foolishness, "defects of the will," lower intelligence, and even social deviance and criminality……. More recently, impulsive behavior has been characterized as specious thinking, which leads to myopic and inconsistent behavior. In the consumption realm, impulsive behavior has been linked with "being bad," and with negative consequences in the areas of personal finance…"
CIRI-CIRI
Lalu apakah Anda seorang impulsive buyer? Secara pragmatis, ada beberapa ciri seorang yang tergolong sebagai impulsive buyer.
Pertama, kalau Anda sering sekali mengunjungi mal, melakukan shopping dengan tujuan utama mencari kesenangan dan bukan membeli kebutuhan.
Kedua, anggaran rumah tangga Anda selalu jebol. Walaupun Anda sudah menyusun budget rumah tangga dengan baik dan realistis, dalam perjalanannya Anda mengalami over-budget secara konstan.
Ketiga, tunggakan kartu kredit dan utang lain bertumpuk dan nyaris tidak pernah lunas.
Anda tidak perlu resah dan tidak perlu pergi ke psikiater untuk persoalan yang oleh Rook, Fisher dan kawan kawan disebut sebagai selfish dan antisosial.
Modal pertama, Anda harus menyadari dan mengakui bahwa Anda adalah seorang impulsive buyer, dan punya keinginan untuk memperbaiki kebiasaan Anda.
Ingat bahwa membeli dan memiliki barang yang bisa memberikan Anda kesenangan tidak selalu berarti buruk.
Toh kita mencari uang karena uang merupakan alat untuk memperoleh kebahagiaan. Yang harus dihindarkan adalah kegemaran Anda yang berlebihan sehingga ada kepentingan lain yang dikorbankan. Ingat bahwa anggran rumah tangga bukan hanya untuk kepntingan Anda sendiri.
Dan dalam daftar panjang kebutuhan rumah tangga, tentu ada prioritas yang disusun bersama secara rasional.
BEBERAPA TIPS
Berikut beberapa tips yang bisa Anda pertimbangkan dan praktekkan untuk memperbaiki prilaku impulsive buying Anda:
Pertama, buatlah daftar kebutuhan berkala secara tertulis. Masukkan dalam daftar itu kebutuhan rumah tangga minimal untuk 1 bulan ke depan. Lalu buatlah prioritas dengan memberi nomor urut.
Kedua, Anda harus menjawab dengan jujur pertanyaan untuk tiap nomor dalam daftar: Untuk apa saya membeli barang atau jasa ini?
Ketiga, ambil jeda beberapa hari sebelum memutuskan untuk membeli barang barang yang harganya relatif mahal dan prioritasnya tidak terlalu tinggi.
Keempat, jangan pergi shopping pada saat kondisi psikologis Anda tidak baik (bad mood), seperti sedang sedih, sedang marah atau sedang merasa kesepian.
Kelima, hindarkan melototi on line shopping terlalu sering.
Keenam, usahakan membeli barang dengan kas/kartu debit, minimalkan belanja dengan menggunakan kartu kredit.
Beberapa hal yang kelihatannya penting, tapi dengan tersedianya subtitusi dan teknologi, mungkin menjadi tidak penting lagi. Misaalnya langganan koran dan majalah. Praktis semua berita dan artikel kini bisa diunduh gratis melalui internet. Demikian juga dengan TV kabel. Tidak dibutuhkan pengetahuan yang rumit untuk bisa memperoleh akses ke Internet TV atau melalui HD Receiver Adapter.
Dulu ketika masih aktif kerja, saya menjadi anggota di beberapa pusat kebugaran. Setelah pensiun saya tidak lagi mampu membayar membership fee yang cukup mahal. Pengalaman pribadi mengajarkan saya bahwa jalan pagi secara teratur adalah olah raga terbaik...
*) Hasan Zein Mahmud adalah Tim Ekselensi dan Staf Pengajar pada KWIK KIAN GIE School of Business.