BISNIS.COM, BALIKPAPAN--Keterbatasan modal dari pelaku usaha mikro dan kecil kelompok ritel menjadi salah satu penyebab pertumbuhan usaha sektor ini terkendala kendati jumlah penyaluran kredit terus bertumbuh.
Kepala Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi (Disperindagkop) Kota Balikpapan Doortje Marpaung mengatakan pelaku usaha ritel biasanya harus menunggu beberapa waktu untuk mendapatkan pembayaran atas barang yang dikirimnya kepada pengusaha ritel yang lebih besar.
“Karena masalah ini, pengusaha skala kecil kebanyakan beralih ke usaha lain atau mencari sektor lain yang arus kas nya bisa lebih lancar,” ujarnya, Senin (20/5/2013).
Disperindagkop Kota Balikpapan mencatat jumlah UMKM yang ada mencapai 17.981 unit, terdiri atas usaha mikro sebanyak 28 unit, usaha kecil 11.998 unit, usaha menengah 4.272 unit dan yang berskala besar 1.683 unit.
Dari jumlah tersebut, yang termasuk dalam kategori ritel berskala lebih besar mencapai 81 unit.
Dia menambahkan untuk meningkatkan permodalan, pelaku usaha ritel mikro dan kecil itu tidak bisa serta merta mendapatkan pinjaman modal dari lembaga keuangan. Persyaratan administratif wajib dipenuhi oleh pengusaha, guna mendapatkan pinjaman untuk menambah modal usaha.
Dia mengakui lembaga keuangan juga tetap selektif dalam memilih calon debitur mengingat adanya risiko atas dana tersebut. “Itu sudah standarnya. Jadi, pengusaha juga tidak bisa langsung meningkatkan kapasitasnya,” tukasnya.
Ketua Komisi II Bidang Ekonomi, Keuangan, Anggaran, Pariwisata dan Perdagangan DPRD Kota Balikpapan Patly Parakkasi mengatakan masalah permodalan memang menjadi salah satu kendala bagi pengusaha mikro dan kecil.
Tak hanya di sektor ritel, pada sektor lain dengan modal cekak pun memiliki permasalahan yang hampir sama.
Usulkan BPR
Karena itu, legislator pun mendorong realisasi pembentukan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) melalui peraturan daerah yang rancangannya telah masuk dalam program legislasi daerah (prolegda) tahun ini.
“Agar akses mendapatkan modal bisa lebih baik dan merata bagi pelaku usaha mikro dan kecil yang mungkin kesusahan mendapatkannya dari perbankan,” katanya.
Kepala Bidang Perekonomian Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kota Balikpapan Arzaedi mengatakan pihaknya sedang mencari komposisi yang tepat untuk dapat merealisasikan BPR.
Menurutnya, modal awal pembentukan BPR itu sebaiknya berasal dari kas Pemkot Balikpapan agar tujuan pemberdayaan masyarakat ekonomi menengah ke bawah bisa tercapai.
Namun, pihaknya juga akan bekerja sama dengan BPD Kaltim guna menjadi perusahaan pendamping dalam mengembangkan bisnis bank perkreditan.
Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia Balikpapan Tutuk S.H. Cahyono mengatakan modal awal ideal untuk pembentukan BPR sekitar Rp500 miliar agar ada efisiensi dalam operasional perbankan.
Dia menjelaskan semakin besar modal yang dimiliki bank, akan memudahkan perseroan untuk melakukan ekspansi dan pengembangan usaha dalam rangka pelayanan pelanggan.
Apabila modal perbankan terlalu kecil, tambahnya, kredit yang disalurkan oleh BPR juga akan menjadi mahal. “Karena keterbatasan tadi jadi high cost. Akibatnya, kalau untuk menyasar segmen menengah ke bawah menjadi tidak efektif,” tuturnya.
Modal tersebut bisa diberikan pemerintah daerah secara bertahap sesuai dengan fokus bisnis BPR, misalnya sektor perikanan dan pertanian.
Selain lebih efektif dalam menggerakkan ekonomi kerakyatan, pemberian modal secara bertahap juga bisa membantu meringankan beban kas daerah.
Kerja sama dengan BPD Kaltim, tambah Tutuk, bisa menjadi pelengkap dalam menjalankan bisnis perbankan.
Dia mengatakan hadirnya BPR bisa melengkapi BPD yang telah ada di Kaltim. Bahkan, tegas Tutuk, BPD bisa menjadi induk bagi BPR sekaligus bersinergi dalam menjalankan program perbankan. (wde)