Bisnis.com, MATARAM -- Sedikitnya jumlah nilai uang logam yang kembali ke Bank Indonesia mencerminkan pola masyarakat Indonesia dalam menggunakan uang logam Rupiah.
Dengan nilai nominal dan kekuatan nilai tukar yang lebih kecil dibandingkan uang kertas, masyarakat cenderung mengabaikan uang logam sebagai alat pembayaran.
Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Nusa Tenggara Barat menyelenggarakan kegiatan “Gempita Peduli Uang Rupiah (GEMPUR) Logam di Monumen Bumi Gora Udayana, Mataram. Kegiatan ini merupakan bagian dari Gerakan Peduli Koin Nasional yang dicanangkan Bank Indonesia pada tahun 2010.
Kepala Bank Indonesia perwakilan NTB Prijono mengatakan, tujuan diselenggarakannya kegiatan GEMPUR Logam adalah untuk meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai nilai mata uang logam Rupiah, terutama di Kota Mataram sebagai ibukota Provinsi NTB.
“Beberapa pasar modern memberikan uang kembalian dengan nilai kecil tidak menggunakan alat pembayaran yang sah seperti menggunakan permen.
Contoh yang lebih ekstrim, dalam lapisan masyarakat tertentu di beberapa daerah beredar informasi bahwa uang logam pecahan kecil sudah tidak berlaku lagi sebagai alat pembayaran,” ujar Prijono, dalam keterangan resmi yang diterima Bisnis.com di Mataram, Senin (3/10/2016).
Bank Indonesia memberikan perhatian khusus pada uang logam karena dalam pengelolaanya terdapat tantangan tersendiri, yakni sirkulasi yang tidak optimal. Secara statistik, dalam satu dasawarsa terakhir secara nasional, Bank Indonesia telah mengeluarkan uang logam (outflow) senilai Rp6 triliun, namun jumlah yang kembali ke Bank Indonesia (inflow) hanya senilai Rp900 miliar atau hanya sebesar 15%.
Prijono menambahkan, di provinsi Nusa Tenggara Barat sepanjang 2016, Bank Indonesia telah mengeluarkan uang logam senilai Rp3,3 miliar, sedangkan uang logam yang kembali hanya senilai Rp230 juta atau hanya sebesar 7%.
“Jika pola perilaku masyarakat dalam memperlakukan uang logam saat ini terus bertahan, Bank Indonesia akan terus melakukan produksi uang logam tanpa dapat mengoptimalkan efisiensi. Selain itu, biaya yang dikeluarkan untuk melakukan produksi uang logam tidak sebanding dengan fungsinya sebagai alat pembayaran,” ujar Prijono.