Bisnis.com, JAKARTA — Meski membawa efisiensi dalam interoperabilitas dan interkoneksi sistem pembayaran perbankan di Tanah Air, Gerbang Pembayaran Nasional menyisakan polemik baru yang merugikan nasabah yang terkait dengan penetapan tarif merchant discount rate (MDR).
Faktanya, interkoneksi Gerbang Pembayaran Nasional (GPN) belum dapat dinikmati sepenuhnya oleh nasabah. Ada saja merchant atau pedagang yang membatasi transaksi hanya pada kartu debit dari bank tertentu saja. Pada akhirnya, nasabah terpaksa bertransaksi dengan uang tunai.
Hal itu dapat ditemui di salah satu gerai Djournal Coffee yang terletak di mal Grand Indonesia, Jakarta. Pembeli dengan kartu debit Bank Mandiri tidak dapat melakukan transaksi di mesin electronic data capture (EDC) yang tersedia. Pedagang hanya mau menerima transaksi dengan kartu debit BCA.
Tak hanya terjadi di kedai kopi tersebut, Nila Kusumasari, salah seorang pekerja di perusahaan BUMN mengatakan pernah menghadapi kondisi yang sama di Pondok Indah Mall. Kala itu dia hendak melakukan pembayaran di salah satu gerai dengan kartu Bank Mandiri, namun ditolak oleh kasir.
“Pernah di PIM [Pondok Indah Mall], mau bayar tapi mesin EDC-nya hanya BCA, jadi hanya boleh dengan kartu debit BCA. Padahal kartu saya Mandiri, jadi riweuh deh,” katanya.
Dia kemudian berulang kali menanyakan alasan pembatasan transaksi kepada kasir. Namun, jawaban kasir tak memuaskan. Kasir hanya berdalih bahwa hal itu sudah merupakan arahan kebijakan dari atasan.
Implementasi GPN memang menjanjikan interkonesi dan interoperabilitasi sitem pembayaran. Selain itu, GPN juga menjanjikan transaksi yang lebih murah kepada nasabah karena merchant discount rate (MDR) dibebankan kepada pedagang, dan tarifnya telah diatur oleh Bank Indonesia.
Namun, di sisi lain, kini pedagang dihadapkan pada tarif MDR yang berbeda untuk transaksi antarjaringan dan dalam jaringan atau off-us dan on-us. Maka, tak heran beberapa pedagang memutuskan untuk melayani transaksi on-us yang membebankan tarif MDR lebih rendah.
Deputi Direktur Elektronifikasi dan Gerbang Pembayaran Nasional Bank Indonesia Aloysius Donanto mengatakan bahwa dengan adanya GPN, tarif MDR diturunkan menjadi 0%—1% per transaksi pada kanal pembayaran berbeda bank atau transaksi off-us.
Tarif tersebut jauh lebih rendah daripada tarif sebelumnya yang diatur oleh pihak switching seperti Mastercard dan Visa. Secara umum, tarif MDR pra-GPN yang harus ditanggung oleh pedagang mencapai sekitar 2%—3% pertransaksi off-us.
“Sebelum adanya GPN, MDR yang dikenakan bank kepada merchant untuk transaksi kartu debit nilainya bervariasi dan lebih tinggi, secara umum berkisar 2-3% untuk transaksi off-us. Nilai tersebut termasuk yang tertinggi dibandingkan dengan negara lain. Kemudian dengan adanya GPN, skema harga MDR tersebut turun menjadi 0%—1% dari nominal transaksi,” katanya kepada Bisnis, pekan lalu.
Besaran tarif MDR, lanjutnya, merupakan kompensasi atas manfaat yang diterima oleh pedagang melalui penggunaan instrumen nontunai yang meliputi efisiensi waktu dan biaya pengelolaan uang tunai.
Selain itu, tarif MDR diposisikan sebagai kompensasi atas biaya atas efisiensi pengurangan potensi risiko seperti selisih uang kas, potensi kebocoran, pencurian, dan pembayaran dengan uang palsu. Pedagang juga dapat menikmati kemudahan dalam memonitor transaksi penjualan.
Dia menegaskan, GPN mengatur skema harga, interkoneksi, dan interoperabilitas untuk transaksi domestik. Kebijakan GPN juga melarang adanya eksklusivitas yang dilakukan oleh bank dan pedagang.
“Merchant dapat memilih untuk terhubung dengan bank acquiring manapun, namun merchant tidak boleh hanya menerima pembayaran dari kartu debet dari bank tertentu saja. Sehingga bila ditemukan praktik merchant yang melarang transaksi dengan kartu tertentu atau monopoli transaksi dengan kartu bank tertentu, maka peran aktif masyarakat diperlukan dengan melaporkan ke bank issuer dan Bank Indonesia,” jelasnya.
Aloysius tak menampik bahwa kasus yang dialami Nila memang masih marak terjadi saat ini. Hal itu, menurutnya, disebabkan oleh belum dilakukannya penyesuaian atas kontrak bisnis antara bank dan pedagang, dan minimnya edukasi pedagang mengenai GPN.
“Sejak diimplementasikannya GPN setahun lalu perlu disadari dibutuhkannya waktu untuk penyesuaian kontrak bisnis antara bank acquiring dengan merchant, yang diperkirakan saat ini masih terdapat 200.000—300.000 kontrak EDC yang perlu disesuaikan dari total populasi EDC yang lebih dari 1 juta EDC,” jelasnya.
Sementara itu, Direktur PT Bank Central Asia Tbk. Santoso menjelaskan, sebelum adanya GPN, pedagang yang bekerja sama dengan BCA memang diuntungkan dengan tarif MDR 0% untuk transaksi dalam jaringan atau on-us dalam skema private label.
Setelah implementasi GPN, pedagang dikenakan tarif MDR sebesar 0,15% untuk transaksi on-us dan 1% untuk transaksi off-us. Dia mengatakan, dengan adanya GPN tidak ada perlakuan khusus yang diberikan bank kepada pedagang.
“Yang perlu clearance adalah tidak ada perlakuan khusus dari BCA kepada merchant, tidak ada rencana untuk memperoteksi itu, semuanya adalah equal treatment,” katanya kepada Bisnis, akhir pekan lalu.
Dia menilai, apabila ada pedagang yang memutuskan untuk melayani transaksi on-us saja, hal itu terjadi di luar kendali BCA sebagai penyedia EDC. Dia menegaskan bahwa BCA sudah memenuhi tugasnya dalam menyediakan EDC untuk transaksi on-us dan transaksi off-us.
“Perkara putusan merchant karena marginnya tipis, kalau seperti itu kami juga bilang itu tidak bisa mengatur. Kewajiban bank adalah memberikan EDC untuk on-us dan off-us, kami sudah menyampaikan itu, jadi perkara merchant meminta [hanya on-us] itu kan pertimbangan dia dalam rangka menghemat biaya.”
Dia juga menekankan, seharusnya pedagang dapat melihat lebih banyak sisi positif dari kehadiran GPN. Penyaramataan tarif memberikan peluang transaksi yang lebih besar, tidak bergantung kepada satu bank saja. Selain itu, keuntungan dalam pengelolaan dana nontunai bagi pedagang tak bisa dianggap nihil.
“Merchant kan dimudahkan, makanya perlu dihitung dulu mengelola cash dengan non-cash. Jadi mesti edukasi ini harus dilihat secara keseluruhan. Pedagang juga diuntungkan, bayangkan 0,15%, omzet Rp10 juta, 0,15% itu hanya Rp15.000. Selisihnya berapa risikonya berapa,” tuturnya.
Dia juga menegaskan, perbedaan tarif MDR off-us dan on-us yang dibebankan kepada pedagang seharusnya tidak menjadi alasan bagi pedagang untuk membatasi transaksi nasabah. Menurutnya, tarif saat ini sudah diperhitungkan dengan matang oleh regulator dan pelaku industri.
SVP Transaction Banking and Retail Sales PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. Thomas Wahyudi juga mengatakan bahwa adanya praktik pembatasan transaksi untuk nasabah dapat disebabkan oleh dua hal. Pertama, disebabkan oleh rendahnya edukasi pedagang mengenai implementasi GPN.
“Dulu ada kartu yang hanya bisa ditransaksikan di EDC tertentu, seperti BCA, tidak bisa kemana-mana dulu yang private label, sementara banyak merchant yang masih beranggapan seperti itu, ini jadi faktor edukasi,” katanya kepada Bisnis, Senin (14/1).
Kedua, dia melihat perbedaan tarif MDR untuk on-us dan off-us menjadi kendala dapat mendorong pedagang untuk membatasi transaksi. Namun, menurutnya, dalam skala pedagang ritel seharusnya hal itu tidak menjadi solusi melihat tingkat laba yang cukup tinggi.